Posted by: rusliharahap | June 20, 2016

BATAKOLOGI

Pendahuluan

Pada awalnya manusia menghuni muka bumi berdiam di: pulau, kepulauan, hingga benua. Mereka tergabung dalam beragam komunitas, seperti: keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa. Semua komunitas ini masih tercerai-berai dan saling berjauhan satu dari lainnya, karena penduduk bumi pun kala itu masih sangat sedikit jumlahnya belum seperti sekarang. Komunitas manusia yang terdapat di muka bumi, apapun ragamnya lalu bertetangga dengan alam sekitar yang menjadi lingkungan hidup masing-masing. Ada yang bernama kawasan tropis berhawa panas diseputar khatulistiwa, lainnya ialah kawasan subtropis lagi sejuk sampai dingin di belahan bumi bagian Utara dan belahan bumi bagian Selatan. Terdapat alam sekitar perairan, diawali: paya atau rawa, tambak, sungai, danau, laut, hingga dengan samudra.  Adapun lagi dataran rendah sangat luas bernama padang rumput dimana bermacam hewan mencari makan dengan bebas. Dari alam sekitar disebut belakangan, alam sekitar di muka bumi beralih menjadi dataran tinggi yang dilanjutkan kawasan pegunungan berudara sejuk beragam ketinggian diatas per-mukaan laut. Masih ada alam sekitar lain di muka bumi bernama padang pasir yang berhawa panas dan gersang lagi tandus sangat luas yang bersifat regional. Selain dari itu, ada pula kawasan muka bumi yang ditutupi salju yang luas, mulai dari bersifat musiman hingga de-ngan salju abadi. Yang akhir ini dijumpai pada belahan bumi bagian Utara yang bertetangga dengan kutub Utara, dan belahan bumi bagian Selatan yang bertetangga dengan kutub Selatan dari planit biru ini.

Yang menjadi pemandangan sehari-hari insan berdiam di bumi ketika itu, di bagian muka bumi manapun berdiam di bumi pada masa awal keberadaan di planit ini: pertama manusia yang menjadi warga komunitas masing-masing, dimulai keluarga hingga masyarakat tempat berdiam, baik komu-nitas yang masih kecil anggota hingga dengan yang sangat besar warganya; kedua: alam mengitari yang menjadi lingkungan hidup komunitas, seperti: padang rumput, hutan hingga rimba belantara; perairan, mulai dari rawa atau paya, kolam, tambak, sungai, danau, laut, hingga samudra. Ada alam sekitar berwujud: padang pasir, padang salju dari musiman hingga dengan salju abadi; juga terdapat alam sekitar campuran dari apa yang sudah disebutkan sebelumnya; ketiga: segala menampakkan diri di angkasa hingga dengan ketinggian langit, dimana: gugusan awan berarakan, matahari dan bulan timbul tenggelam, himpunan bintang gemerlapan bercahaya di malam hari, bintang berekor (komet) melintas, dan banyak lagi lainnya, yang tidak mungkin dirinci satu persatu; semuanya de-ngan setia menampakka diri di angkasa hingga ketinggian langit. Ketiga ragam “pemandangan” yang mengitari kehidupan insan di muka bumi pada masa itu, yakni: “manusia”, “alam sekitar”, dan “bermacam benda langit” menampakkan diri pada ketinggian; tidak diragukan lagi mengirimkan pesan kepada insan yang dialamatkan kepada “akal-budi” masing-masing, dimanapun berdiam dise-putar planit biru ini, mulai dari bumi bujur Barat hingga dengan  bumi bujur Timur, demikian pula dari bumi lintang Utara hingga dengan bumi lintang Selatan. Ketiga macam pemandangan lalu menorehkan pesan, kesan, yang membentuk citra terekam dalam kepada: Tondi (Batak), Hati-sanu-bari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman), dengan jumlah benturan (kuan-titas) dan mutu (kualitas) bervariasi dari: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa yang berdiam di seantero planit bulat bagaikan bola, menelusuri perjalanan waktu ratusan ri-bu tahun menerobos zaman sampai dengan hari ini.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, beragam komunitas berdiam di muka bumi, mulai: perorangan, keluarga, masyarakat, suku bangsa, dan bangsa, masih sedikit bilangannnya, maklum manusia yang mendiami muka bumi masih sedikit kala itu. Pada ketika Nabi Muhammad SAW me-nerima Surah Al-Alaq dalami Gua Hiraq yang dibawakan oleh malaikan Jibril tahun 610 Masehi silam, penduduk bumi ditaksir berjumlah sekitar 200.000.000 orang semuanya. Dengan bumi ber-bentuk bola dengan garis-tengah rata-rata: 12.740 km yang baru diketahui orang belakangan ratusan tahun kemudian, luas permukaannya: 510 juta km2. Sebagian besar permukaan bumi ini (70%) berupa air, dan hanya sebagian kecil (30%) berupa daratan. Dengan demikian kepadatan pendu-duknya pada masa itu barulah: 1,3 orang per km2. Itulah sebabnya mengapa jauh sebelum Ra-sulullah menerima berbagai Surah yang menjadikan kitab Suci Al-Quran umat Islam, insan ber-diam di muka bumi jumlahnya jauh lebih sedikit lagi, dan keberadaan masing-masing sangat ber-jauhan satu sama lain.

Selain dari itu, tiap komunitas mulai kecil bernama keluarga hingga besar dinamakan bangsa, di-pagari pula oleh jarak tempuh berjalan-kaki yang lama dan sangat melahkan untuk berjumpa de-ngan warga atau anggota komunitas lainnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa “revolusi industri” belum muncul di daratan di Eropa, dan belum lagi terdapat jalan-raya (prasarana) dan ken-daraan (sarana) dijalankan “motor bakar” dengan bahan bakar “bensin” dan “mesin diesel” berbahan bakar “solar” dimana-mana diseluruh penjuru dunia ini yang memudahkan orang beper-gian ke tempat yang jauh seperti sekarang ini. Grafik dibawah ini memperlihatkan pertumbuhan “penduduk bumi” dalam Bilyun orang, menelusuri perjalanan waktu dua ribu tahun, yang berhasil dikerjakan Google untuk diketahui semua orang segala kepercayaan berdiam di muka bumi.

penduduk

Courtesy of Google

Perlu diketahui, orang yang ingin bepergian ke tempat jauh ketika itu, baik sendiri maupun beramai-ramai harus berjalan kaki puluhan hingga ratusan kilometer jaraknya. Medan ditempuh antara lain berulang kali harus keluar masuk hutan hingga rimba belantara di Nusantara, menelusuri jalan setapak antara kampung yang biasa dilewati penduduk setempat. Muka jalan dilalui tidak selalu datar, ada kalanya terpaksa menuruni lembah terjal dan merangkak menuruni tebing untuk tiba ke tepi anak-sungai atau sungai yang perlu diseberangi, dan setelah menyeberang, kembali merangkak mendaki tebing terjal seberang untuk sampai di permukaan jalan rata. Perjalanan masih harus dilan-jutkan meniti galangan sawah, menembus semak belukar, bertemu jalan tanah berair lagi berpasir penuh batuan, yang menjadi tantangan lain. Tidak jarang berjalan kaki berhari lamanya disertai me-nginap di berbagai kampung orang yang perlu dilalui. Perjalanan darat ketika itu memang menguras  tenaga badani dan tidak terkecuali waktu yang tidak sedikit dihabiskan untuk sampai ke tujuan. Apabila perjalanan yang sama dilakukan dengan kendaraan bermotor roda: dua, tiga, atau empat, dan diatas jalan-raya mulus sebagaimana sekarang ini setelah revolusi industri muncul di Eropa silam, waktu perjalanan dihabiskan menjadi jauh lebih singkat, dan tidak melelahkan badan, karena dibantu jalan-baja atau jalan-raya dengan sarana transportasi berteknologi sudah maju.

Pandangan Tiga Sekawan

Ketiga ragam “pemandangan” yang dijumpai oleh setiap komunitas, mulai: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, mengelilingi masing-masing dimana-mana di muka bumi se-luruh dunia saat itu: “manusia”, “alam sekitar melingkungi”, dan “beragam benda-langit yang me-nampakkan diri mulai angkasa sampai ketinggian langit, menemani keseharian hidup insan saat awal keberadaan bermukim di muka bumi. Ketiga macam pemandangan menjelma menjadi: “pe-mandangan yang tiga”, atau “tiga serangkai pemandangan”, atau “tiga-sekawan pemandangan” pe-ngetuk “akal-budi” (brain-heart) yang diperlukan insan untuk “berfikir” dan “bekerjasama” menja-lani hidup Alam Fana di muka bumi. Ketiganya lalu membidani lahirnya pengetahuan, yang dalam perjalanan waktu muncul jadi ilmu (science) tentang: manusia, alam sekitar melingkungi, dan ber-macam benda-langit yang menampakkan diri mulai angkasa sampai ketinggian langit. Ketiga “pemandangan” dengan setia mengawal insan dari siang sampai malam: berhari, berminggu, ber-bulan, bertahun, berabad, bermillenia, dan beratus millenia, berkembang dalam benak manusia  menjadi: Tiga Sekawan Pandangan, disingkat TSP, penggugah “akal” dan pengetuk “budi” insan, atau penggugah-ketuk “akal-budi” insan yang tidak pernah istirahat berkegiatan. Dengan melola kecerdasan berfikir (motivation), dan menuangkan gagasan (inspirasi) kedalam benak (otak), mulai: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, menyebabkan manusia terdorong  “bertindak atau berbuat sesuatu” (to do something). Lewat pengolahan “akal-budi” (brain-heart) “karunia Ilahi” bersemayam dalam “hati-sanubari insan”: “akal” (brain) bertugas memecahkan persoalan dan tantangan betapapun peliknya, “budi” (heart) menghimpun manusia guna menggan-dakan kemampuan lewat kebersamaan, dari: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa demi memperkasakan akal. Dengan demikian, aneka ragam permasalahan sehari-hari yang dihadapi di Alam Fana bermukim di muka bumi, mulai kecil lagi sederhana hingga yang besar dan rumit setra muskil dapat dipecahkan secara bersama.

Dengan bumi berbentuk bola bergaris-tengah rata-rata: 12.742 km, maka luas permukaannya: 510 juta km2. Sebagian besar muka bumi berupa perairan (70%), dan hanya bagian kecil (30%) daratan. Dengan jumlah manusia berdiam di muka bumi dalam hitungan puluh hingga ratus juta orang menjelang “revolusi industri” di Eropa silam, kepadatan penduduk di muka bumi ketika itu masih termasuk rendah, sehingga komunitas manusia bermukim di muka bumi saling berjauhan satu sama lain. Dalam keterpisahan hidup di bumi silam, insan dipagari pula jarak tempuh berjalan kaki lama lagi melelahkan, maka manusia yang dibekali Tuhan dengan: Tondi (Jiwa, Ruh, Soul, Seele), Akal-budi, dan Jasmani, menjadi sadar keadaan masing-masing, lalu melangsungkan: 1. diskusi antara sesama warga setiap komunitas, seperti: keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa; 2. menja-lin komunikasi dengan alam sekitar melingkungi: padang rumput, rimba sampai hutan belantara; paya atau rawa, sungai, laut, hingga samudra; juga padang pasir, gurun, padang salju mulai mu-siman hingga salju abadi; 3. mendengarkan bisikan semilir angin, amukan badai, hempasan ombak sampai gelombang, angkara murka gemuruh hingga dentuman petir, sayatan cahaya kilat sambar menyambar, getaran gempa mengguncang bumi, letusan gunung api, dan banyak lagi yang harus diketahui insan berakal-budi, mulai dari hidup sendiri hingga tergabung dalam komunitas; 4. tidak juga lupa juga insan berdialog dengan semua yang menampakkan diri di angkasa sampai ketinggian langit dari siang sampai malam, seperti: arakan awan berwarna warni, matahari dan bulan yang tim-bul tenggelam, bintang gemerlapan di langit pada malam hari, dan masih banyak lagi lainnya yang terlihat setiap hari  hingga dengan mncul berkala.

Andaikata manusia dapat bermukim di permukaan setiap planit yang terdapat dalam “sistim mata-hari” selain bumi, tampaknya tiga-sekawan penggerak akal-budi insani diutarakan diatas tidak akan berubah, meski sudah tentu perbedaan akan timbul pada alam sekitar di permukaan setiap  pla-nit yang sedang dihuni. Walaupun demikian perlu dimengerti, bahwa sejumlah planit yang terdapat dalam “sistim matahari” lebih besar ukurannya ketimbang bumi. Ini berarti “massanya” jauh lebih besar dari bumi, sehingga medan gravitasi yang ada dipermukaannya dapat menyebabkan orang tidak dapat berdiri disana. Bulan yang telah berulangkali disinggahi oleh astronaut Apollo dari Amerika Serikat, lebih kecil dari bumi. Gaaris tengahnya 3.474 km, hampir 1/4 dari garis tengah bumi tepatnya 27,3% garis tengah bumi. Bulan ternyata memiliki medan gravitasi 1/6 dari medan gravitasi bumi tepatnya 16,54 %, sehingga orang dapat melompat enam kali lebih tinggi dari yang dapat dilakukannya di muka bumi.

Tampaknya, apabila manusia dapat berdiam permukaan planit mana saja yang ada dalam sebuah “sistim bintang” tergabung kedalam Galaksi mana saja yang ada dalam Alam Semesta yang maha besar dan sangat luas ini, tiga-sekawan penggerak akal-budi insani yang telah diutarakan diatas ti-dak akan banyak berbeda. Perbedaan hanya akan terdapat pada alam sekitar masing-masing planit yang didiami orang. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa “tiga-sekawan” penggerak akal-bu-di insan yang telah diutarakan diatas bersifat “alamsemesta” (universal), artinya akan selalu ditemui manusia dimana saja ia berdiam di seantero Alam Semesta yang maha besar lagi sangat lu-as ini.

Mitologi

Setelah berlalu masa dalam hitungan ratus ribu tahun, “akal-budi” insani berbagai komunitas ber-diam di muka bumi yang keberadaannya tercerai-berai, dipagari lagi jarak tempuh berjalan-kaki  la-ma dan melelahkan untuk bersua dengan salah satu komunitas lain, diawali: 1. dialog antar warga  setiap komunitas, lalu: 2. hasil dialog komunitas dengan alam sekitar tempat berdiam, dan: 3. Hasil komunikasi komunitas dengan segala yang menam-pakkan diri di angkasa sampai ketinggian langit; maka perolehan 1, 2, 3, dipelajari dengan saksama, lalu didalami baik-baik oleh setiap komunitas berangkat dari pengetahuan yang ada pada mereka masing-masing, lahirlah  dalam setiap komunitas apa yang dikenal dengan: ceritra lama, atau hikayat purba, masing-masing komunitas berdiam di muka bumi. Perjalanan waktu panjang berada di muka bumi mengantarkan perolehan budaya ini menjadi “ceritra rakyat”, kesepakatan diterima bersama, mulai: keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, menjadi: hikayat, sejarah, kepercayaan, kesakralan, keimanan, dan lainnya kesepakatan bersama, milik bersama pula. Ceritra rakyat demikian dalam bahasa Yunani dinamakan: “mythos”, melahirkan: “myth”, dalam bahasa Inggris dan: “mitos”. dalam bahasa Indonesia. Adapun bahan (materi), mulai hikayat, ajaran, pengetahuan, kepercayaan hingga keyakinan terkandung dalam ceri-tra rakyat, mulai disampaikan dari mulut ke mulut, begitu juga lewat ceramah, tidak terkecuali yang tertulis dalam beragam aksara, dalam bahasa Yunani disebut: “logos”. Lahir dengan demikian: “logy” dalam bahasa Inggris, dan: “logi” dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya kata “mithology”, gabu-ngan dari “myth” dengan “logy” dalam bahasa Inggris, dan “mitologi” gabungan “mitos” dan “logi” dalam bahasa Indonesia. Mitologi lalu berkembang menjadi: ilmu atau pengetahuan (science) yang mempelajari aneka ragam ceritra rakyat yang ada di muka bumi, datang dari bermacam latar belakang budaya hingga kepercayaan dan agama yang ada di muka bumi sejak awal kehadiran manusia silam. Mitologi menjadi khazanah atau lumbung peradaban bermuatan: adat-istiadat, ke-percayaan, agama yang dihasilkan sesuatu komunitas, mulai dari ceritra rakyar jenaka hingga dengan upacara sakral (suci) suatu kepercayaan, dan agama. Bentuknya dapat bercorak: legenda, fabel, nasihat, ramalan, petuah, dan banyak lagi lainnya hingga beragam kitab-suci yang berhasil di-himpun manusia dengan berdiam di muka bumi. Mitologi juga mencakup tentang bermacam nilai, seperti: kebaikan prilaku, penolakan pada yang buruk; tertib hidup dalam kelompok diawali: kelu-arga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, demi menjaga tertib sosial. Mitologi juga tentang ikh-wal manusia itu sendiri, seperti hidup dan kematian, keabadian Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) setelah mati, tentang Tuhan dan keesa-anNya, dan masih banyak lagi lainnya. Ada pula yang berupa: nasihat, perumpamaan, pantun, dan petuah yang diciptakan beragam komunitas, seperti: keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa yang tidak pernah sama disebabkan kehidupan insan yang terpencar selama ini, dipagari pula jarak berjalan kaki lama yang melelahkan ribuan km jaraknya, oleh belum adanya sarana dan prasarana transportasi tidak terkecuali peralatan telekomunikasi di waktu yang silam.

Tak terbilang banyak mitos mengemuka lahir dari komunitas, mulai keluarga hingga bangsa berdi-am di beragam tempat muka bumi, meski tidak muncul seketika. Beragam hikayat dan ceritra rak-yat berkembang, dan dalam rentang waktu panjang mengemuka dalam tiap komunitas, walau belum tentu sejarah, tetapi tidak diragukan adalah sebuah perolehan budaya, mengisahkan jalan hidup ko-munitas mulai perorangan hingga bangsa, tidak terkecuali oleh tokoh sentral yang mem-perlihatkan kepahlawanan kepada komunitas sampai bangsa masing-masing. Selain tentang orang, mitos juga berceritra tentang kepercayaan, peristiwa, nilai, dan sejumlah hal sakral, dan lain yang penting da-lam komunitas hingga bangsa, antara lain bagaimana mereka sampai tiba ke suatu tempat ke-beradaan dimuka bumi ini, kemana mereka kelak akan menuju setelah hidup yang sementara ini berakhir, dan apa yang harus diperbuat atau kerjakan selama hidup serentang hayat ini, dan banyak lagi lainnya. Di Indonesia mitologi umumnya memuat kisah awal keberadaan dunia, juga ceritra tentang dewa dan dewi serta makhluk supranatural, juga tidak terkecuali kisah tentang asal mula da-ri sesuatunya.

Berbagai mitologi telah tampil di muka bumi dibidani oleh tak begitu banyak komunitas yang  telah berdiam di muka bumi bertukar generasi sejak dari awal keberadaan insan di muka bumi ini, dimulai: keluarga, masyarakat, suku-banga, dan bangsa, dari masa yang silam. Dipagari oleh jarak tempuh berjalan kaki lama lagi melelahkan sepanjang sekitar dua ratus ribu tahun, mereka saling terpencar satu sama lain, sampai dengan timbulnya “revolusi industri” di Eropa silam, yang mem-perkenalkan bermacam moda angkutan: angkutan darat, angkutan air, angkutan udara, angkutan antariksa, dan “revolusi elektronika” memperkenalkan perangkat telekomunikasi bernama: gadget (gawai), membuat dunia menjadi terbuka lebar. Kini mitologi bermuatan: ceritra rakyat, ajaran lelu-hur, kepercayaan bangsa, agama bumi, dan agama langit, dari tak terhitung banyak komunitas yang ada di seluruh penjuru dunia, telah menjadi harta kekayaan “hati-sanubari insani”: budaya, berma-cam nilai sakral, dan keiman agama, menjadi pengetahuan milik orang banyak. Kekayaan hati-sa-nubari ini menjadi “perbendaharaan bukan-material” (immaterial things) milik umat sedunia peng-gerak “akal-budi” manusia, lawan dari “perbendaharaan material” (materal things) pengisi “ruang alam sekitar” yang mengelilingi insani di muka bumi. Dibawah ini adalah berbagai tempat asal  per-bendaharaan bukan-material yang dikelompokkan kedalam kawasan tempat asal dari bermacam mi-tologi yang kini terdapat di muka bumi, sebagai berikut:

I. Mitologi Dunia

  1. Kawasan Asia
  2. Asia Barat Daya
  3. Zaman Purba

        – agama Sumeria

        – mitologi Mesopotamia (Sumeria, Assiro-Babylonia)

        – mitologi Iran

        – mitologi Semitik:

                 – Babylonia

                 – Arab

                 – Canaan

        – mitologi hittit

        – mitologi Hurrian

        – mitologi Scythian

        – mitologi Elamite

  1. Zaman Pertengahan hingga Modern

        – mitologi Armenia

        – mitologi Arabia

        – mitologi Iran:

                – Balochi

                – Ossetia

                – Kurdish

                – Persia

         – mitologi Islam.

  1. Asia Selatan

         – mitology Ayyavazhi

         – mitologi Hindu

         – mitologi Tamil

         – mitologi Buddhist.

  1. Asia Timur

         – mitologi China

         – mitologi Jepang

         – mitologi Korea

         – mitologi Tibet

         – mitologi Ryukyuan

         – mitologi Ainu.

  1. Asia Tenggara

         – mithologi Filipina

         – mitologi Melayu

         – mitologi Indonesia:

                 – Batak

                 – Miangkabau

                 – Nias

                 – Melayu

                 – Dayak

                 – Toraja

                 – Asmat

                 – Sunda

                 – Jawa

                 – Papua

         – mitologi Vietnam.

  1. Asia Tengah dan Utara

         –  ajaran Shamanisme dari Siberia

         –  mitologi rakyat Turki dan Mongolia

         – mitology Scythian

         – mitologi Mongolia

         – mitologi Finnik

  1. Kawasan Afrika
  2. Afrika Tengah

         – Bantu

         – Bushomgo, Congo

         – Baluba

         – Bambuti (Pygmy), Congo

         – Lugbara, Congo.

  1. Afrika Timur

         – mitologi Akamba (Kenya Timur)

         – mitologi Dinka (Sudan)

         – mitologi Lotuko (Sudan)

         – Masai (Kenya, Tanzania)

         – mitologi: Kintu, Kaikuzi, Warumbe, dan lainnya (Uganda).

  1. Tanduk Afrika

          – mitologi Somalia.

  1. Afrika Utara

          – mitologi Berber

          – mitologi Mesir (sebelum Islam).

  1. Afrika Barat

          – mitologi Akan

          – mitologi Ashanti (Ghana)

          – mitologi Dahomey (Fon)

          – mitologi Edo (Nigeria, Kameron)

          – mitologi Efik

          – mitologi Igbo (Nigeria, Kameron)

          – mitologi Isoko (Nigeria)

          – mitologi Yoruba (Nigeria, Benin).

  1. Afrika Selatan

          – mitologi Khoikhoi

          – mitologi Lozi (Zambia)

          – mitologi Magalasi

          – mitologi Tumbuka (Malawi)

          – mitologi Zulu (Afrika Selatan).

  1. Kawasan Australia dan Oseania

          – mitologi Aborigin Australia

          – mitologi penciptaan Kaluli

          – mitologi Melanesia

          – mitologi Mikronesia

          – mitologi Papua

          – mitologi Polinesia:

                 – Hawaii

                 – Mangarevan

                 – Māori

                 – Rapa Nui

                 – Samoa

                 – Tahiti

                 – Tongga

                 – Tuvaluan

  1. Kawasan Kutub Utara

      Ajaran Shamanisme dari Siberia tumpang tindih dengan Asia Utara, Eropa Utara, dan

      Amerika Utara:

          – mitologi Finlandia

          – mitologi Inuit

          – mitologi Norse

          – mitologi Sami.

  1. Kawasan Eropa

     Zaman Purba:

          – mitologi Yunani

  • mitologi Romawi
  • mitologi Etruskan
  • mitologi Paleo-Balkan
  • mitologi Lusitania
  1. Eropa Utara

          – mitologi Germania:

                 – Paganisme (percaya kepada banyak Tuhan)

                 – Norse

                 – Anglo-saxon

          – mitologi Finnik

                 – Estonia

                 – Finlandia

                 – Sami

         – mitologi Slavia:

                 – Polandia

          – mitologo Baltik:

                 – Latvia

                 – Lituania

                 – Prusia

  1. Eropa Timur

          – mitologi Hongaria

          – mitologi Roma (Gypsy)

          – mitologi Slavia

          – mitologi Romania

          – mitologi Tatar

  1. Eropa Selatan

          – mitologi Albania

          – mitologi Catalonia

          – mitologi Yunani

          – mitologi Italia

          – mitologi Lusitania

          – mitologi Maltes

          – mitologi Spanyol

          – mitologi Turki

  1. Eropa Barat

          – mitologi Alpen

          – mitologi Basque

          – mitologi Frankish

          – mitologi Perancis

  1. Kaukasia Utara

          – mitologi Nart Saga (meliputi: Abazin, Abkhaz, Circasian, Occetia, Kharachay-Balkar,

            Chechen-Ingusetia).

          – mitologi Osetia

          – mitologi Vainakh (meliputi Chechen dan Ingusetia).

          – mitologi Adyghe Habze.

  1. Kaukasia Selatan/Transkaukasia

          – mitologi Armenia

          – mitologi Georgia

  1. Kepulauan Inggris

          – mitologi Celtik

          – mitologi Irlandia

          – mitologi Skotlandia

          – mitologi Welsh

  1. Kawasan Amerika
  2. Mesoamerika

          – mitologi Aztek

          – mitologi Maya

          – mitologi Olmek

  1. Karibia

          – mitologi Haiti

  1. Amerika Selatan

          – mitologi Chilota

          – mitologi Brazilia

          – mitologi Inka

          – mitologi Guarani

          – mitologi Mapuche

  1. Diaspora Afrika

         Kepercayaan dan agama orang-orang diaspora Afrika:

          – Hoodoo

          – Vodou

          – Santeria

          – Obeah

          – Kumina

          – Palo

          – Kandomble

          – Umbanda

          – Quimbanda

II. Ajaran Para Leluhur

Sebahagian dari mitologi warisan leluhur berbagai bangsa dari masa silam, dalam perjalanan waktu lalu berkembang menjadi kepercayaan yang berasal dari para leluhur.

  1. Mitologi Romawi
  2. Mitologi Mesir
  3. Mtologi Yunani
  4. Mitologi Jepang
  5. Mitologi Mayan
  6. Mitologi Mesopotamia
  7. Mitologi Zoroaster
  8. Mitologi Batak ←
  9. …..
  10. …..

        Dan masih ada lainnya.

III. Agama Bumi

Dalam hal agama bumi, “mitologi” datang dari ajaran orang-orang suci yang terkenal dan pernah berdiam di muka bumi diwaktu yang silam. Dinamakan agama bumi, karena fikiran cerdas dan bijak ini datang dari seorang atau lebih cendekia yang pernah ada dan hidup di muka bumi yang menjadi teladan dan berkarya sepanjang hayat hidup di muka bumi. Ajaran mereka diamalkan para pengikutnya dengan rajin dan setia, lalu berkembang menjadi kepercayaan nyata dalam kehidupan masyarakat ribuan tahun lamanya, lalu menjelma menjadi agama bumi.

  1. Agama Hindu
  2. Agama Buddha
  3. Agama Khonghucu
  4. Agama Shinto
  5. Masih banyak lainnya.
  6. Agama Samawi.

IV. Agama Samawi

Dalam hal ini, “mitologi” diajarkan diyakini oleh para penganutnya sebagai firman Tuhan yang datang dari langit untuk sesuatu umat yang berdiam di muka bumi. Mitologi yang terhimpun kedakan Kitab Suci bermuatan bermacam Surah terinci dalam beragam ayat didatangkan Tuhan diantarkan oleh seorang Rasul atau Nabi yang diutus dari langit. Dinamakan “agama samawi” karena perkataan Tuhan yang terhimpun dalam Kitab Suci berasal dari langit, itu alasannya mengapa disebut “agama langit”. Dengan demikian Kitab Suci itu ialah perkataan Tuhan yang dikirim dari langit dan disampaikan oleh seorang utusan (messenger) kepada manusia yang hidup di muka bumi.

Dari sekian banyak utusan Tuhan yang telah datang sampai kini diketahui orang, ialah tiga mitologi agama paling akhir disampaikan bawah ini:

  1. Nabi Musa AS di utus ke muka bumi 1400 tahun sebelum tarikh Masehi, diutus Tuhan

        menyampaika Kitab Taurat kepada umat Yahudi.

  1. Nabi Isa AS diutus pada awal tarikh Masehi, diutus Tuhan menyampaikan Kitab Injil kepada

        umat Nasrani.

  1. Nabi Muhammad SAW tahun 610 Masehi, diutus Tuhan menyampaikan Kitab Al-Quran kepa-

        da umat Islam.

Banua Tiga Sekawan

Salah satu komunitas manusia berdiam di muka bumi silam, diwakili cendekiawan bermukim di Su-matera Utara, tepatnya di bumi Tapanuli, ialah suku-bangsa Batak. Sebagaimana komunitas manu-sia lain, orang Batak juga menemukan BTS penggugah “akal” dan pengetuk “budi” manusia yang telah diutarakan sebelumnya, namun “Ompu Simulajadi orang Batak pertama diketahui berdiam di Tanah Batak silam, tampil dengan pandangan bahwa “Alam Semesta” yang maha besar lagi sangat luas ini, tidak lain dari apa yang dinamakan “Banua na Tolu Sadongan” (Banua yang Tiga Seka-wan), disingkat BTS, masing-masing terdiri dari: “Banua Ginjang” (Alam Atas), “Banua-Tonga” (Alam Tengah), dan “Banua Toru” (Alam Bawah); ketiganya lalu, menurut pemahaman “manusia pertama suku-bangsa Batak ini”, tersusun rapi dari atas kebawah bagaikan kue lapis yang sangat besar tergolek diatas sebuah talam yang amat luas. Banua artinya “Ruang Alam”, tiga buah bila-ngannya semua, dan menjadikan Alam Semesta ini.

Kata “simulajadi” memang bahasa Batak, akan tetapi bukan asli berasal dari Tanah Batak. Di se-menanjung Tanah Melayu silam, kata itu telah dikenal orang dengan: “semulajadi”. Meski telah menjadi bahasa Melayu, akan tetapi bukan asli berasal dari Tanah Melayu. Menurut penulis sejarah di Semenanjung Malaya, kata itu sudah dikenal orang lama di anak benua India, lalu dibawa  pen-deta Hindu ke Tanah Melayu; dan dari tempat akhir ini dibawa rohaniawan Hindu lagi ke Tanah Batak, ketika mereka membangun kompleks peribadatan bentuk “Candi’ di desa Bahal, Portibi; kini termasuk dalam Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Para ro-haniawan Hindu dahulu rupanya masuk ke Tanah Batak lewat selat Malaka lalu dari Labuhan Bilik di muara sungai Barumun melayari sungai itu hingga di Portibi. Banyak perkataan dalam bahasa Batak berasal dari bahasa Sansekerta yang dibawa ke Tanah Batak oleh kaum rohaniawan, dan yang juga banyak digunakan ialah: “Debata” datang dari kata “Dewata” yang artinya Dewa. Orang-orang Hindu telah mendirikan sejumlah Kerajaan di sejumlah negara Asia Tenggara pada masa  menjelang masuknya tarikh Masehi.

Adapun yang dinamakan Banua Ginjang ialah tempat berada diatas yang benderang, berlatar biru la-ngit bermandikan cahaya, dimana Debata yang mengatur segalanya bersemayam. Juga tempat asal dari segala yang bernyawa. Sedangkan Banua Tonga, ialah tempat yang terdapat di muka bumi, dimana mengalir dalam jasad semua yang bernyawa untuk serentang hayat. Adapun Banua Toru, ialah tempat gelap gulita di dalam perut bumi, kemana segala yang bernyawa akan menuju setelah Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) berpisah dari badan.

Demikian dijelaskan Ompu Simulajadi tentang Alam Semesta maha besar ini pada awalnya. Agar  mudah diingat, lalu dinyatakan kedalam “Warna Sekawan Batak”, disingkat WSB, masing-masing: “Putih”, untuk Banua Ginjang yang benderang, “merah” untuk Banua Tonga dimana mengalir da-rah dalam tubuh yang bernyawa, dan “hitam”, untuk Banua Toru yang gelap gulita, tempat tujuan segala tubuh setelah Tondi bercerai dari badan. Kawanan warna kemudian digunakan untuk meng-hiasi bermacam hasil kerajinan suku-bangsa Batak, antara lain: kain tenunan Batak yang bernama “ulos” (selimut), pakaian dan perlengkapan Adat Batak, aneka ragam hiasan (ornamen), dan lain se-bagainya supaya tidak terlupakan. Berbagai macam denda kerajinan diperlukan untuk melangsung-kan acara dan upacara dalam adat Batak, mulai yang bersifat keagamaan dan sakral sifatnya, hingga dengan yang biasa untuk perkawinan dan beragam perayaan. Bangunan rumah kediaman suku-bangsa Batak selain memperlihatkan keunikan bentuk, juga dilengkapi WSB, yang menjadi bagian penting dari seni ukir dari arsitektur Batak.

Bendera Batak menggambarkan warisan pandangan Alam Semesta dari Ompu Simulajadi pernah berdiam Tanah Batak silam, dan tidak lain dari arna Sekawan Batak (WSB) yang telah diterangkan sebelumnya masing-masing berurutan dari atas kebawah: putih, merah, dan hitam.

bendera-batak

Bendera Batak

Masyarakat Batak

Setelah menempuh perjalanan waktu panjang, suku-bangsa Batak lalu dengan istilah yang dikenal dengan sebutan: “marga”. Marga tidak lain dari nama awal dalam suatu kekerabatan suku-bsngsa Batak yang menganut sistim “patrilenial” (kebapaan) datang dari seorang leluhur pemersatu yang pernah berdiam di Bonabulu (Tanah Batak) silam. Nama marga itu, tidak lain dari nama “orang per-tama” dari marga disebutkan. Muncul dengan demikian  beragam nama marga, seperti: Harahap, Siregar, Lubis, Batubara, Nasution, Panjaitan, Simatupang, dan lain sebagainya. Nama marga lalu digunakan terus oleh keturunannya “mendampingi” nama diri, guna mengetahui darimana asal sese-orang yang berdiam di Bonabulu silam. Maka orang yang bernama: Abdul Hamid Harahap, ialah seorang bernama: Abdul Hamid, keturunan generasi sekian dari pendahulu atau leluhur pemersatu bernama Harahap berdiam di Tanah Batak silam. Sebagai pembanding dapat diketengah-kan cara orang Arab yang bernama: Abu. Untuk menghubungkan orang bernama Abu dengan leluhurnya silam, budaya Timur Tengah menyuratkan sebagai berikut: Abu bin Saad, bin Taslim, bin Daud, bin Siddiq, bin Maqruf, bin Talal, dan seterusnya. Untuk menjelaskan siapa sebenarnya orang yang ber-nama: Abdul Hamid keturunan marga Harahap itu, suku-bangsa Batak lalu menyiapkan yang dina-makan “tarombo” (silsilah) awalnya tersurat diatas kulit kayu dalam aksara Batak sebagai catatan. Akan tetapi orang Arab tidak memerlukan tarombo, karena semua nama hingga dengan leluhur di-maksud telah tercantum dalam garis keturunan keluarga yang sudah jelas terbaca.

Dalihan Na Tolu

Masyarakat Batak bergaris keturunan patrilenial, artinya laki-laki merupakan suhut bolon (kepala keluarga), dan menurut adat Batak berhak menurunkan nama marga kepada anak-anaknya. Seba-liknya masyarakat Minang bersilsilah “matrilenial” (keibuan), karena sejalan adat Minang wa-nitalah yang menu-runkan nama marga kepada anak-anaknya, meski dilakukan oleh saudara laki-lakinya. Dalam masyarakat Batak “pertama” dikenal istilah: “kahanggi”, yakni himpunan keluarga Batak bermarga sama yang terdiri dari bermacam generasi. Seorang dikatakan bermarga Harahap di Bonabulu atau perantauan, karena yang bersangkutan masih keturunan marga Harahap yang dahulu pernah berdiam di Tanah Batak. Selain dari itu “kedua”, ada lagi yang dinamakan: “anakboru”, yakni himpunan dari suku-bangsa Batak bermacam marga, antara lain: Pane, Lubis, Rambe, Sor-min, dan lainnya yang mempersunting “gadis” marga Harahap menjadi ibu di berbagai kampung mereka guna menambah bilangan. Kemudian yang “ketiga” ada pula yang dinamakan: “mora”, yak-ni himpunan dari suku-bangsa Batak bermacam marga, seperti: Siregar, Pohan, Nasution, Rambe, dan lainnya yang mendatangkan ibu kepada marga Harahap di berbagai kampung mereka untuk menambah bilangan. Dengan demikian terbentuklah “sekawan marga” dinamakan: “anakboru”, ter-diri dari: Pane, Lubis, Rambe, Sormin, dan lainnya menjadi “anak-boru” dari Marga Harahap di Bo-nabulu silam, lalu meluas ke perantauan. Adapun “sekawan marga” lain  terdiri dari: Siregar, Po-han, Nasution, Parinduri, dan lainnya dinamakan: “mora” dari Marga Harahap di Bonabulu silam, juga lalu meluas ke perantauan.

Ketiganya, masing-masing: “kahanggi” marga Harahap dengan “sekawan marga anakboru” dan   “sekawan marga mora”, membentuk apa yang kemudian dinamakan: “Sekawan Masyarakat Batak”, disingkat SMB, dikenal dengan nama: “keluarga besar”, dan dalam adat Batak disebut: “Dalihan Na Tolu”, disingkat DNT, artinya: “Tungku Yang Tiga”, disingkat TYT, terdapat dalam masyarakat dari suku-bangsa Batak di Bonabulu silam, yang dibidani perkawinan antar marga yang bersifat sa-kral. Gabungan dari ketiganya mengingatkan suku-bangsa Batak kembali kepada mitos BTS pan-dangan Ompu Simulajadin akan Alam Semesta dari silam, dan menegaskan pula bahwa: kehidu-pan masyarakat juga membutuhkan adanya ketiga unsur sebagaimana telah diterangkan diatas.

Selain dari itu dahulu, ketika orang baru mengenal api, nyala api didapur menjadi tempat orang ber-kumpul membicarakan dalam suatu komunitas. Agar dapat bertanak diatas api, diperlukan tiga batu sebagai tungku tempat meletakkan periuk. Dua batu kurang, empat batu terlalu banyak, hanya tiga batu yang tepat bilangannya. Dari sini lahir sudut pandangan lain yang dikenal dengan istilah: “Tungku Yang Tiga”, disingkat TYT. Dan ini mengisyaratkan akan perlu adanya “keluarga besar” dalam masyarakat suku-bangsa Batak terdiri dari: “kahanggi”, “anak-boru”, dan “mora”, agar kehi-dupan di Banua-Tonga atau Alam Fana, dapat berlangsung baik dan hamonis.

Perkawinan

Dalam masyarakat Batak di bonabulu, adat telah menetapkan berlaku perkawinan keluar marga, atau eksogami. Naposo bulung (anak laki-laki) kahanggi boleh dipaebat (dinikahkan) dengan nauli bujing (anak gadis) moranyabegitu juga naposo bulung anakboru boleh dipaebat dengan nauli bu-jing kahanggi; akan tetapi tidak untuk sebaliknya. Inilah yang disebut adat perkawinan tidak-sime-tris (asimetric marriage). Hal ini dilaksanakan guna menghindarkan nauli bujing anakboru dipaebat oleh naposo bulung kahanggi, demikian pula nauli bujing kahanggi dipaebat oleh naposo bulung mora, karena akan menimbulkan rompak tutur (rusaknya pertuturan) dan menyalahi adat di Bona-bulu. Dalam A-dat Batak di kampung silam telah berlaku serangkaian kaidah yang berlaku dalam keluarga besar SMB, yakni: somba marmora (hormat kepada mora), manat markahamaranggi (pandai bergaul bersaudara), dan elek maranak-boru (membujuk anakboru) yang telah ditetapkan dalam pertuturan menurut Adat Batak.

Tutur tidak lain dari kaidah bertegursapa yang digariskan dalam Adat Batak digunakan dalam kelu-arga besar DNT, yakni ragam tutur (sapa) digunakan antara mereka berlainan generasi; oleh mereka yang lebih tua kepada yang lebih muda, atau sebaliknya dalam garis vertikal, begitu juga ragam tutur diantara mereka yang masih satu generasi berbeda kedudukan dalam aturan Adat Batak, seperti: kahanggi, anakboru, dan mora dalam garis horizontal; tidak terkecuali arah bertegursapa. Tutur menjadi hapantunan (sopan santun) dalam pergaulan hidup sehar-hari masyarakat Batak, terlebih dalam kehidupan sehari-hari kekerabatan DNT yang dihormati, amat diperhatikan pelaksa-naannya dalam kehihidupan. Kesalahan menyebutkan tutur terhadap seseorang dalam masyarakat di Bonabulu yang masih kuat, berakibat mendapat koreksi langsung di tempat lengkap dengan pen-jelasan menerangkan mengapa harus menyebut demikian.

Selain alasan rompak tutur disebutkan diatas, adat perkawinan tidak simetris Adat Batak juga dipengaruhi peran yang diemban oleh unsur-unsur: kahanggi, mora, dan anakboru dalam keluarga besar Dalihan Na Tolu menyelenggarakan sebuah perhelatan adat. Dalam sebuah perhelata Adat Batak diselenggarakan kahanggi, baik siriaon (kebahagiaan) maupun siluluton (kedukaan), kahang-gi akan dibantu tenaga oleh anakborunya, sementara moranya menyumbangkan pemikiran diperlu-kan supaya acara berjalan lancar sebagaimana mestinya.

“Naposo bulung” (pemuda) dari suatu marga di kampung halaman dinamakan: Sisuan Bulu (Sipe-nanam Bambu), adalah yang membela kampung halaman andalan kahanggi bermukim di Bonabulu bersama kerabat semarga yang lain. Karena itu ia didampingi oleh “nauli bujing” (gadis) datang da-ri mora yang jadi “rongkap ni tondi” (pasangan hidup) untuknya. Dalam Adat Batak perkawinan antara “naposo bulung”, atau yang bernama “bayo pangoli” (pengantin pria) dengan “nauli bujing”, atau yang bernama “boru na dioli” (pengantin wanita) harus berasal dari marga yang berbeda. Ada-pun “boru dioli” yang ideal dalam Adat batak anak-gadis saudara kandung ibu laki-laki, yang biasa dinamakan “boru tulang”. Setelah perkawinan berlangsung, “boru na dioli” ini akan menjadi Si-suan Pandan (Sipenanam Pandan) di kampung halaman kebanggaan kahanggi. Perlu diketahui, Adat Batak melarang “naposo bulung” sesuatu marga menikah dengan nauli bujing marga yang sa-ma, atau dikenal dengan istilah perkawinan semarga (endogami). Ini disebabkan pemahaman su-ku-bangsa Batak, bahwa orang-orang yang bermarga sama masih bersaudara, dan tergolong masih seayah dan seibu, dan karena itu akan menyebabkan insest (incest) terlarang dalam adat Batak.

Dibandingkan tataring, perkawinan dua sejoli demikian, bagai tungku dengan dua dalihan, periuk diletakkan diatasnya akan terjungkal. Dalam hidup bermasyarakat, pasangan ini juga tidak mem-punyai mora, karena itu akan mendapat kesulitan bergabung kedalam keluarga besar DNT mengikuti perhelatan adat Batak siriaon dan siluluton. Juga dalam lingkungan SMB, kedua sejoli tidak memperoleh “habisuhon na sian mora” (tuntunan dari lingkungan mora), dan tidak pula dapat melangsungkan “somba mar mora (“hormat kepada mora”). Karena telah melangsungkan perka-winan semarga menyalahi Adat Batak, jalan keluarnya ialah salah seorang dari dua sejoli harus mengganti marga melalui upacara adat Batak, agar nama keduanya dapat kembali bergabung ke-dalam DNT dan nama mereka dimuat kedalam tarombo marga pengantin laki-laki.

Kebersamaan

Dari SMB, Trilogi Batak merambah ke ranah nilai (value) hidup bersama yang berguna dalam ke-hidupan keluarga besar di Bonabulu. Mora dikatakan “na mangalehen hangoluan” (si pemberi kehi-dupan) kepada kahanggi. “Mora soksok” dialamatkan kepada marga yang pertama kali mendatang-kan Ina (Ibu) kepada kahanggi. Adapun marga yang telah mendatangkan Ina lebih dari tiga generasi berturut-turut kepada kahanggi, seperti marga Siregar dari Bunga Bondar kepada marga Harahap dari Hanopan (Sipirok), dinamakan “mataniari naso gakgahon” (matahari yang tidak dapat ditatap). “Mora i ma mual ni hangoluan” (mora adalah mata air kehidupan) kata para cendekiawan, “mora na mangalehen habisuhon” (mora ialah si pemberi kecerdikan). Itulah sebabnya mengapa turun perin-tah Adat Batak kepada kahanggi yang mengatakan agar yang akhir ini melakukan “somba mar Mora” (hormat kepada mora).

Lingkungan kahanggi dinamakan: “dongan sabutuha” (himpunan sekandung), merupakan kumpu-lan hidup orang-orang yang semarga terdiri dari bermacam generasi. Orang-orang bersaudara mem-punyai hak dan kewajiban yang benar-benar sama,  tidak seorangpun boleh mendapat lebih banyak atau kurang dari lainnya. Kahanggi ialah “alam kehidupan” di kampung halaman atau Bonabulu silam, dimana mereka yang senasib dan sepenanggungan dahulu mempertahankan marga dengan kampung dari musuh yang datang meyerang. Karena itu turun perintah Adat Batak pada kahanggi mengatakan a-gar: ”manat-manat markahamaranggi” (pandai-pandailah hidup orang bersaudara).

Anakboru dinamakan: “nagogo manjujung, na ringgas mangurupi morana (yang kuat menjujung di kepala, dan rajin membantu moranya). Anakboru dikatakan juga: “sitamba na hurang, sihorus na lobi” (si penambah yang kurang dan si penguras kelebihan) dalam beragam perhelatan Adat Batak, baik siriaon maupun siluluton dalam lingkungan kahanggi. Itulah sebabya mengapa turun perintah Adat Batak pada kahanggi mengatakan: “elek mar anakboru” (pandailah mengambil hati anakboru) agar bantuan mereka selalu dapat diperoleh. Dengan demikian nilai-nilai: somba mar mora, manat mar kahanggi, dan elek mar anakboru menjadi Trilogi Nilai Batak, disingkat TNB yang amat ber-guna untuk kebersamaan hidup lingkungan DNT (TYT) suku-bangsa Batak, agar kekerabatan  yang harmonis senantiasa dapat terpelihara dari Bonbulu hingga dengan perantauan, selama berada di Banua-Tonga.

Karena hidup di Banua-Tonga atau Alam Kedua bersifat sementara, yakni serentang hayat, maka guna memelihara kerukunan komunitas suku-bangsa Batak berdiam di Bonabulu, Adat Batak menurunkan perintah: “inte disiriaon, tangi disiluluton“ (menantikan khabar bahagia, selalu menyi-mak berita duka). Selain pesan untuk masyarakat DNT dikemukakan diatas, ada pula perintah Adat Batak untuk perorangan (individu) yang memerlukan perhatian serious masyarakat di Bonabulu ke-tika itu, baik terhadap mereka yang sudah tua apalagi yang masih muda, ialah apa yang dinamakan:  Tolu Sadongan Nijalahan (Tiga Sekawan Dicari), disingkat TSN(TSD) dalam hidul berdiam di Banua Tonga selama hayat seseorang yakni: hamoraon, hagabeon, dan hasangapon.

Mora artinya teladan, dan hamoraon ialah keteladanan mencakup: keakraban, taat hukum, ber-pan-dangan hidup maju, penuntut dan pencari ilmu pengetahuan, penyayang sekaligus pelindung, pan-dai menengahi perbedaan demi kerukunan hidup, beriman, dan masih banyak lagi yang lain ber-sa-rang dalam Tondi (jiwa/ruh/hati-nurani/soul/seele) bersifat bukan-benda (material) untuk memoti-vasi Roha (akal-budi) manusia untuk berbuat berguna. Inilah yang dinamakan: kekayaan atau harta batin (wealth of the soul) yang dimiliki seorang bergelar: halak na mora (manusia yang teladan). Gabe ialah kaya, sehingga hagabeon artinya kekayaan dikuasai orang meliputi: rumah, harta-benda, sawah ladang, simpanan bank, dan lain sebagainya bersifat kebendaan (material) di dunia dikuasai seorang, termasuk juga keturunan. Inilah yang dinamakan orang harta lahir (the material wealth) yang dimiliki seseorang bergelar: halak na gabe (orang yang kaya). Adapun hasangapon berasal dari kata sangap yang artinya martabat (dignity). Hasangapon ialah martabat yang berhasil diraih  seorang menjalani hidup di Banua-Tonga, atau Alam Fana di dunia ini. Pada zaman kerajaan silam orang bermartabat ialah: Raja, kaum bangsawan, datu, dan lain sebagainya. Kini orang bermartabat, ialah: Kepala Negara, Menteri, Gubernur, Bupati, rohaniawan beragam agama, ilmuwan, peneliti penemu, pendiri aneka industri, penggiat olahraga, dan masih banyak lainnya yang tidak dapat dirinci satu persatu. Mereka yang berbuat: amal yang baik, menolong fakir miskin, pendiri rumah yatim-piatu, penjelajah alam, pengarung samudra, dan lain sebagainya yang tak terhitung banyak jumlah dan ragamnya. Dengan melola hamoraon (harta batin), hagabeon (harta lahir), seseorang dapat meraih hasangapon atau martabat hidup di Banua Tonga, dahulu menjadi: Raja, kaum bang-sawan, Datu, Ompu, dan lian sebagainya; kini Presiden, menteri, rohaniawan, ilmuwan, olahraga-wan, kepahlawanan, astronaut, dan lain sebagainya.

Tolu Sadongan Nijalahan

Hamoraon, hagabeon, dan hasangapon lalu menjadi jembatan bagi manusia untuk meraih martabat tinggi selama berdiam di Banua-Tonga. Inilah yang dinamakan Tolu Sadongan Nijalahan, disingkat TSN (Tiga Sekawan Dicari, disingkat TSD). Dengan hamoraon, orang dapat mencapai martabat  tinggi dengan mengamalkan “harta batin” bersemayan dalam hati-nurani insani. Dengan hagabeon, orang juga dapat mencapai martabat tinggi dengan memberdayakan “harta lahir” yang dikuasainya terdapat di Banua-Tonga atau dunia ini, demi kemaslahatan orang banyak. Dengan hasangapon pun orang dapat mencapai martabat tinggi lewat keturunan, seperti: putra atau putri Raja, keturunan para bangsawan, anak-anak orang dengan nama besar, keturunan gelar tersohor, dan lainnya. Hanya saja untuk yang disebut terakhir, yang bersangkutan perlu membuktikan dirinya layak untuk me-nyandang martabat yang diwarisi. Karena, bila tidak martabat disandang akan cepat tergerus  oleh waktu. Ini disebabkan kenyataan, bahwa martabat itu diraih lewat perjuangan berat yang menuntut bukti meyakinkan. Diibaratkan kredit (utang), martabat (dignity) keturunan harus dilunasi prestasi, agar memperoleh pengakuan. Dan, manakala pewaris berhasil, maka orang akan mengatakan: “ia bako amangna”, artinya: dia seperti bapaknya; atau: ia memang keturunan keluarga si Haji Polan yang tersohor itu.

Apabila dengan harta batin seseorang dapat membangun kehidupan harmonis mendatangkan damai dan kesejahteraan kepada suatu komunitas berdiam di Banua-Tonga, maka yang memprakarsainya  akan memperoleh martabat tinggi dalam komunitasnya. Demikian juga, apabila harta lahir yang dikuasai seseorang diberdayakan untuk kemaslahatan orang banyak dengan mudah berbagi kepada sesama, untuk mengatasi penderitaan umat pasca bencana alam yang timbul di suatu kawasan, ma-ka si dermawan akan memperoleh martabat tinggi lewat kemurahan hati dalam komunitasnya. Akan tetapi untuk kaum bangsawan dan yang setara, yang mewarisi martabat dari keturunan, perlu mem-buktikan kemampuannya agar diterima masyarakat. Itulah sebabnya mengapa seorang pangeran, atau putri kerajaan dimasa silam, harus memperlhatkan kecakapan menegakkan keadilan guna me-nunjukkan kepada masyarakat kelayakan martabat yang tengah disandang.

Selain martabat “bersifat positif” diutarakan diatas, di Banua Tonga atau dunia ini, terdapat juga martabat yang “bersifat negatif” dan mengantarkan seseorang terjerembab kelembah hina dina hi-dup di Banua-Tonga, apabila: hamoraon dimiliki, hagabeon dikuasai, dan hasangapon disandang ti-dah dipersembahkan untuk kemaslahatan orang banyak dari komunitas tempat berdiam.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, badan atau tubuh yang dimiliki seseorang dalam bahasa Batak dinamakan: pamatang. Dan akhir ini, lebih dari 70% berat badan hanyalah air, terdapat pada segala yang bernyawa, pinjaman dari Banua-Tonga. Demikian pula: hamoraon dan hagabeon yang menyusul kemudian. Segala yang bernyawa asal dari Banua Ginjang, setelah menjalani hidup di Banua-Tonga, meneruskan perjalanan ke Banua-Toru, setelah Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) meninggalkan badan. Tubuh manusia (ma-teri) yang berasal dari Banua-Tonga, lalu kembali ke asalnya tidak terkecuali: hamoraon dimiliki dan hagabeon dikuasai. Adapun hasangapon akan terus mendampingi Tondi (Batak), Hati-sanu-bari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) seseorang. Hanya hasangapon yang setia menemani Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) meneruskan perjalanan menghadap Debata (Sang Pencipta) berdiam Banua Ginjang, dan hasangapon seseorang juga yang akan tinggal di Banua-Tonga, atau Alam Fana, atau dunia ini untuk menyapa semua orang.

Dengan demikian Tolu Sadongan Nijalahan (TSN) atau Tiga Sekawan Dicari (TSD), menjelma menjadi pengamalan hidup suku-bangsa Batak bermukim di Banua-Tonga dalam pandangan Ompu Simulajadi berangkat dari falsafah TBS yang sangat perlu diperhatian. Dengan TSN/TSD diharap-kan hati-nurani insani mendapat pencerahan dari Debata, mulai perorangan (individu), keluarga, suku-bangsa, dan bangsa Batak, agar selalu bergiat mencari celah dalam belantara hidup di Banua-Tonga, menyongsong datangnya terang sinar matahari yang menembus kelam hati-nurani, menun-jukkan lembar pilihan hidup yang benar-benar sejalan dengan bakat dan kemampuan dimiliki ber-mukim di Banua-Tonga.

Tarombo

Suku-bangsa Batak terdapat di Sumatera Utara, tepatnya di Tanah Batak yang luas, juga dikenal de-ngan “Tapian Na Uli”, disingkat Tapanuli. Dari sekian banyak suku-bangsa Batak berdiam di wila-yah tersebut, terdapat sejumlah puak masing-masing memiliki keragaman: budaya, kebiasaan, adat-istiadat, dan dialek suku-bangsa Batak berbeda. Selain memiliki bahasa lisan yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari dalam masyarakat, suku-bangsa Batak juga mempunyai “bahasa tulis” dengan aksara Batak yang dinamakan: “surat Batak” (tulisan Batak). Dengan aksara Batak, bera-gam catatan (dokumen) telah diwariskan leluhur Batak kepada keturunan yang datang kemudian.  Salah satu catatan penting yang biasa diwariskan untuk generasi penerus dalam masyarakat Batak ialah apa yang disebut di Bonabulu silam:“tarombo” (silsilah keluarga). Melalui sebuah tarombo suku-bangsa Batak dapat mengetahui Huta (Kampung) asal mereka di Tapanuli silam, termasuk  kerabat semarga bernama: “kahanggi” hingga “keluarga besar” disebut: Dalihan Na Tolu (DNT). “Kahanggi” dan “keluarga besar” adalah dua bentuk “tubuh masyarakat” (social bodies) yang me-ngikat erat: “perorangan” (individu)  kedalam “kelompok hidup”, dalam masyarakat suku-bangsa Batak lahir di Bonabulu silam lalu menyebar ke perantauan.

Tarombo berawal dari ingatan bersemayam dalam kenangan orang Batak yang kemudian beralih ke ranah tulis. Susunan dimulai dari: 1. Kahanggi, yakni mereka yang bermarga sama, diawali lelu-hur pemersatu hingga kepada generasi yang ada sekarang. Selanjutnya: 2. Anakboru, ialah himpu-nan berbagai marga yang mempersunting anak-gadis kahanggi dibawa ke kampung mereka untuk menambah bilangan. Akhirnya: 3. Mora, ialah kumpulan bermacam marga yang mendatangkan ibu pada kahanggi di kampung yang akhir ini untuk menambah bilangan. Gabungan: 1. Kahanggi, 2. Anakboru, dan 3. Mora, lalu membentuk apa yang dalam masyarakat dinamakan “keluarga besar”, bernama: Dalihan Na Tolu (DNT). Ketiganya mengingatkan kepada pandangan Ompu Simulajadi yang mengatakan: kalau Alam Semesta itu “Tiga sekawan” adanya, maka hidup bermasyarakat di Banua-Tonga juga perlu benirukan “ber-Dalihan Na Tolu” untuk memperoleh kebaikan. Perlu dicatat, dalam SMB “laki-laki” menjadi pemimpin dalam lingkungan kahanggi, tetapi “perempuan” menjadi jembatan dengan marga lain lewat perkawinan, yang akan dipantau saudara laki-laki marga perempuan. Dengan demikian manakala timbul perselisihan diantara laki-laki dan perempuan da-lam sebuah rumah tangga, maka saudara laki-laki dari fihak perempuan selaku “mora” dapat mene-ngahi “perbedaan pendapat” sejalan Adat Batak untuk menyelesaikan perkara.

Kahanggi, Anakboru, dan Mora, lalu memainkan peran penting dalam setiap perhelatan Adat Batak, baik siriaon (kegembiraan) maupun siluluton (kesedihan) mulai dari Bonabulu hingga perantauan. Dalam tarombo akan segera tampak mereka yang segenerasi, mereka yang berlainan generasi, baik pada tingkat orang tua, maupun kakek, dan lainnya. Lalu tegur sapa (tutur) apa yang harus diguna-kan menyapa yang masih segenerasi, mereka yang lain generasi, dan bagaimana menghindarkan timbulnya rompak (kesalahan) tutur, dan lain sebagainya.

Mudah difahami, dalam masyarakat Batak yang sederhana silam, teknologi belum lagi berkembang,  belum lagi ada peluang untuk memeriksa kebenaran pandangan Ompu Simulajadi yang bersema-yam dalam fikiran orang-orang Batak berdiam di Bonabulu, terhadap Alam Semesta sebenarnya terdapat di luar sana. Sebelum datangnya abad pertengahan di Eropa, orang-orang diseantero jagad masih menganut pandangan Ptolomaëus yang mengatakan bahwa bumi ini adalah pusat dari segala peredaran benda langit yang ada di Alam Semesta termasuk matahari. Cara pandang Alam Raya ini dinamakan: ajaran geosentris. Sri Paus, pemegang Tahta Suci di Vatican, Roma, Italia, kala itu, ju-ga menganut geosentris karena tidak menyalahi ajaran Kitab Suci, lalu menjadikannya pegangan hidup umat Katholik di seluruh penjuru dunia.

Akan tetapi dengan kedatangan abad pertengahan, Koppernigt (Copernicus 1473-1543) seorang ilmuwan dan astronom berkebangsaan Polandia membantah, dan mengatakan bahwa mataharilah yang menjadi pusat peredaran segala macam benda-langit. Bantahan ini melahirkan cara pandang Alam Semesta baru, dinamakan: ajaran heliosentris. Galileo Galilei (1564-1642), seorang cende-kiawan dan astronom dari Italia membuktikan kebenaran Koppernigt dengan teleskop bikinannya sendiri. Namun malang, Galileo Galilei dinyatakan bersalah dengan kelancangan membenarkan aja-ran heliosentris, sehingga terpaksa menjalani tahanan rumah hingga akhir hayatnya. Baru pada bu-lan Mei tahun 1994, 600 tahun kemudian, hukuman itu dicabut oleh Paus Yohannes Paulus II, se-telah terlebih dahulu meminta maaf didepan umum atas kekeliruan rekan pendahulunya, yang saat itu menduduki Tahta Suci di Vatican.

Memasuki penggal kedua abad ke-20 ilmu pengetahuan dan teknologi maju pesat menyebabkan Niels Armstrong, warga Amerika Serikat menjadi manusia pertama yang menjejakkan kaki di per-mukaan bulan. Bermacam satelit cerdas melanglang buana menjelajahi angkasa hingga melewati batas tatasurya; dan orang-orang Batak pun lalu menyadari, bahwa ajaran Ompu Simulajadi tentang Alam Semesta terbukti tidak sesuai kenyataan. Banua-Ginjang bernama Surga ternyata tidak ada di atas sana. Banua-Tonga dimana manusia, hewan, dan bermacam tanaman tumbuh hanyalah muka bumi bulat seperti bola. Adapun yang dinamakan Banua-Toru tidak lain dari isi bumi yang bulat ba-gaikan bola.

Lalu timbul pandangan dualisme terhadap Alam Semesta dalam masyarakat Batak: sebuah berasal dari pandangan Ompu Simulajadi berseayam dalam fikiran orang-orang Batak yang percaya, dan yang lain kebenaran Alam Semesta terdapat diluar sana. Usai penggal kedua abad ke-20, dunia pun memasuki milenium ke-tiga, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cepat me-ngalihkan perhatian umat dari permukaan bumi ke angkasa. Dalam ruang antar planit yang hampa, gaya tarik bumi tidak lagi menjadi patokan, mana yang dinamakan atas atau bawah tidak lagi menjadi persoalan, ternyata ajaran Ompu Simulajadi memperlihatkan “pemahaman  baru”.

Dengan meletakkan Alam Benda, dimana: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya di tengah sebagai Alam Kedua, maka menurut pemahaman baru, harus terdapat Alam Pertama dari mana segala yang ada berasal. Kemudian usai menjalani kehidupan  Alam Kedua, maka perlu ada lagi Alam Ketiga, kemana semuanya akan menuju. Adapun ajaran Alam Semesta dari Ompu Simu-lajadi yang mengatakan, terdapat: Banua-Ginjang di Atas, Banua-Tonga di Tengah, dan Banua-Toru di Bawah, timbul dalam dari pemikiran suku-bangsa Batak ketika itu ialah karena adanya “medan gravitasi” di permukaan bumi yang menguasai segalanya. Dengan kehadiran medan gra-vitasi orang lalu mengenal arah yang dinamakan: atas dan bawah. Dan dari yang akhir ini lalu mun-cul berbagai macam arah lainnya.

Muncul dengan demikian Tolu Banua Sadongan  (TBS) pemahaman baru, masih tetap seperti yang  lama, tetapi berganti nama menjadi: Alam pertama, Alam Kedua, dan Alam Ketiga. Juga masih tetap kue talam yang berlapis tiga warna: putih, merah, hitam. Ketiganya tidak perlu lagi tergolek di atas talam yang sangat luas, akan tetapi mengambang bebas di angkasa bebas dari segala medan gravitasi. Adapun dalam “pemahaman lama”, ialah yang dikemukakan oleh Ompu Simulajadi, se-belumnya yakni: Banua-Ginjang, Banua-Tonga, dan Banua-Toru yang masih berada dalam medan gravitasi bumi.

Apabila Alam Kedua dikatakan sebagai Banua Na Marpamatang (Alam Yang Berbadan) bersifat kebendaan (material), maka Alam Pertama dan Alam Ketiga seyogyanyalah berupa Banua Naso Marpamatang (Alam Yang Tidak-Berbadan) alias Alam Transenden (Transcendant), karena sama-sekali bersifat bukan benda (immaterial). Lantas bagaimanakah perwujudannya? Belum lagi dapat diketahui orang hingga kini! Lalu mungkinkah Alam Pertama dan Alam Ketiga sama? Tentu saja mungkin, akan tetapi keduanya boleh juga tidak sama. Dua Alam dapat dikatakan sama, apabila dapat dibuktikan bahwa keduanya sama, sebaliknya dua Alam dikatakan bebeda, kalau keduanya dapat dibuktikan tidak sama. Peluang Alam Pertama dan Alam Ketiga sama, atau tidak sama, jelas sama banyaknya, karena itu tidak satupun yang dapat mengalahkan yang lain.

Hanya hasangapon (martabat) saja dipercaya orang Batak akan setia menemani Tondi (Batak), Ha-ti-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) dalam perjalanan yang a-badi. Apabila Alam Pertama sama dengan Alam Ketiga dan transenden, maka Tondi (Batak), Hati-sa-nubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman), maka yang demikian ibarat Tondi baru saja meninggalkan Alam Kedua, lalu kembali lagi ke Alam yang sama. Ini mengingat-kan kepada reinkarnasi kehidupan dunia. Manakala kedua Alam transenden ini berbeda satu sama lain, tondi akan berjalan dalam lintasan garis lurus. Perjalanan demikian mengukuhkan kembali a-kan pandanga TBS, sekaligus memperkenalkan pemahaman yang baru dari pandangan Ompu Simu-lajadi yang mengatakan, bahwa Alam Semesta ini tersusun dari tiga Banua sebagaimana yang sudah diterangkan diatas.

Mungkin saja Ompu Simulajadi leluhur suku-bangsa Batak pertama ada, telah sejak awal memiliki pandangan kedua, dimana kue talam besar lapis tiga warna sekawan: putih, merah, hitam, benar-benar mengambang di angkasa; bukan sebagaimana kue talam besar lapis tiga warna-warni tergolek di atas talam amat luas, karena memang dari sejak dahulu suku-bangsa Batak juga mengetahui akan adanya bermacams Alam termasuk transenden terdapat di luar Alam kebendaan bersifat material. Akan tetapi, karena kebanyakan masyarakat suku-bangsa Batak belum dapat mencernanya, maka disampaikanlah gagasan kue talam besar lapis tiga sekawan warna tergolek di atas talam yang amat luas. Benarkah sangkaan demikian, wallahualam bissawab, tak ada seorang pun mengetahui!

Keluarga

Suku-bangsa Batak menamakan masyarakat terkecil berdiam di Banua-Tonga dengan kata: suhut. Suhut artinya keluarga batih (nuclear family) terdiri dari berbagai unsur: Amang (Ayah), Inang (I-bu) dan Pomparan (Keturunan), disingkat AIP. Dan yang disebut akhir ini cerminan dari TBS pan-dangan Ompu Simulajadi silam. Dalam masyarakat, dibedakan orang Batak “istilah” yang digunakan untuk menyebut turunan laki-laki dari turunan perempuan. Hanya kepada keturunan laki-laki saja kata “anak” digunakan, sedangkan kepada keturunan perempuan digunakan kata “boru”. Dengan demikian keluarga dalam masyarakat Batak dikatakan sempurna di Bonabulu, apabila seseorang telah mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan, sehingga dalam sebuah keluarga lengkap akan terdapat: Amang, Inang, Anak, dan Boru, disingkat AIAB. Itulah sebabnya mengapa kepada mereka yang melangsungkan pernikahan menurut adat Batak, salah sebuah pesan penting yang disampaikan pada kedua mempelai agar: “maranak marboru hamu”; artinya: mempunyai ketu-runan anak laki-laki dan keturunan anak perempuan. Dengan demikian suhut atau keluarga batih dalam masyarakat Batak dinyatakan dengan AIP sejalan dengan TSB, dan manakala dijabarkan akan menjadi AIAB.

Manusia

Suku-bangsa Batak memandang jolma (manusia) yang hidup di Banua-Tonga, perwujudan lain dari   Banua Tolu Sadongan (BTS) pandangan Ompu Simulajadi. BTS lalu menjelma menjadi ”Tri Logi Batak” (TLB), yakni istilah populer pandangan Ompu Simulajadi. Itulah sebabnya manusia ber-diam di Banua-Tonga dinyatakan tidak lain dari apa yang kenal dengan: “Tolu Na Marsada” atau “Tiga Yang Menyatu”, artinya terdapat tiga bagian yang menyatu menjadikan manusia). Apakah yang dimaksud dengan ketiga bagian tersebut, tidak lain dari: Tondi, Roha, dan Pamatang. Tanpa tondi, insan akan hilang kemanusiaan terdapat dalam dirinya: semangat, emosi, kharisma, motivasi, kemauan, hidup di Banua-Tonga; tanpa roha orang akan hilang akal-budinya: bisuk (bijak), cerdas, ingatan (memory), ilham (intuisi); dan tanpa badan (pamatang) manusia akan hilang keberadaan diri di Banua-Tonga, alias meninggal dunia. Perlu diketahui, pamatang atau jasmani tidak lain dari “tandatangan manusia” di atas ketas lembar kehidupan di Banua-Tonga, yakni muka bumi ini.

Dalam pelbagai acara maupun upacara adat Batak, baik berupa siriaon (gembira) maupun siluluton (kesedihan), manusia diperlihatkan sebagai “pira manuk na ni hobolan” (telur ayam yang telah dikebalkan), dan disebut terakhir ini tidak lain dari telur ayam yang direbus. Manakala dibaca dari luar kedalam, akan mengungkapkan pengertian sebagai berikut: kulit telur: Pakaian, putih telur: Pa-matang, lapisan diantara putih dan kuning telur: Roha, dan kuning telur itu: Tondi (Batak), Hati-sanu-bari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman).

Jiwa

Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman), (ruh/ jiwa/kharisma) berada di Alam bukan-benda (Banua Naso-Marpamatang), menurut kepercayaan suku-bangsa Batak dapat bepergian meninggalkan pamatang (jasmani) saat orang sedang tidur, atau  sakit, atau keadaan tidak normal lainnya. Tondi adalah “Badan Halus” (Superbeing) yang terdapat dalam setiap kehidupan, apapun bentuknya. Tondi (Batak), Hati-sanu-bari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) membedakan seorang insan dari yang lain, diperlihatkan: semangat, emosi, kharisma, dan ditampilkan keluar lewat “bahasa badan” (body language). Diibaratkan mobil sedang melaju diatas jalan raya, apabila dikemudikan oleh orang berbrda, akan memperlihatkan prilaku gerakan kendaraan yang berbeda pula. Lewat analogi yang sama, manakala jasmani seseorang dihuni oleh Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) bukan miliknya dari sejak lahir, disebabkan penyakit misalnya, akan memperlihatkan prilaku atau kelakuan keluar bukan aslinya. Walau bermacam pengetahuan tentang tondi telah terkuak kepada manusia dari pengalaman hidup dan pergaulan sehari-hari sampai  dengan penyelidikan ilmu pengetahuan di Banua-Tonga, akan tetapi alam bukan-benda pertama yang terdapat dalam diri insan ini terus menyimpan teka-teki yang masih sedikit sekali terungkap kepada manusia.

Akal

Roha (akal) juga terdapat di alam bukan-benda. Inilah yang dinamakan kecerdasan sebenarnya (the true intelligence) lawan dari kecerdasan buatan (the artificial intelligence) yang sekarang giat di-kembangkan orang untuk mengendaliakn bermacam peralatan cerdas bikinan manusia, antara lain: teknology bedah jarak jauh, aneka ragam robot, peluru kendali, bermacam roket, hingga dengan sa-telit. Ini pula yang diungkapkan Sokrates (470-399 SM), pemikir Yunani dari Athena pada zaman praklassik, yang temuannya tentang hal ini disampaikan dalam bahasa Jerman pada dunia oleh seorang filosof bernama: Windelband (1848-1915): “Die immateriele Welt ist endeckt, und das Au-ge des Geistes hat sich nach innen aufgeschlagen”; seorang penganut aliran idealisme subjektif bangsa Jerman. Dalam bahasa Batak: “Banua naso-marpamatang tarungkap madung, mata ni roha manaili ma tu bagasan”; dan oleh Dr. Mohammad Hatta diindonesiakan menjadi: “Alam tidak bertubuh diketahuilah sudah, dan mata fikiran pun memandanglah kedalam”.

Sebagaimana: komputer, telepon genggam (gadget), tablet (electronic reader), dan bermacam pe-rangkat pintar yang lain, adalah benda yang merupakan perpaduan antara “perangkat-keras” (hard-ware) dengan “perangkat-lunak” (software) untuk mampu melakukan bermacam pekerjaan. Roha pada mnusia dapat dinamakan: “perangkat lunak insani”, disingkat perlunsani (human software, di-singkat: human-ware). Perinsani bertindak menjembatan Tondi dengan Pamatang, sehingga yang disebut terakhir dapat melakukan berbagai macam pekerjaan yang diimginkan oleh Tondi, berang-kat dari: kemampuan, keterampilan, keahlian, kecakapan, dan lain sebagainya yang telah diajarkan dan dilatihkan pada seseorang. Kegiatan pemrograman Roha sesungguhnya telah dimulai oleh ma-nusia sejak masih berada dalam kandungan, dilanjutkan setelah lahir lewat: pendidikan, pelatihan, perjalanan jabatan, pengalaman hidup, dan lainnya serta berlangsung tanpa henti selama hayat ma-sih dikandung badan, berangkat dari pandangan hidup yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan.

Roha (Alam bukan-benda) yang terdapat dalam diri manusia inilah yang oleh segelintir negara si-lam: Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur; itu pun digeluti jumlah kecil warganya (sumber daya manusia) lewat kegiatan akademik berjenjang mulai rendah hingga tinggi, menjadikan berbagai ne-gara tersebut dengan cepat menjadi terkemuka di dunia, setelah menerima buah fikiran Yunani  yang diantarkan bangsa Arab kedaratan Eropa dalam Abad Pertengahan silam.

Diawali penghujung abad ke-19, lalu sepanjang abad ke-20, dilanjutkan kini abad ke-21, berbagai negara di Eropa: Inggris, Perancis, Jerman dan sekitarnya; kemudian Amerika Utara: Amerika Seri-kat; lalu Asia Timur: Jepang; menjadi sadar akan apa yang dikatakan Sokrates tentang keperkasaan “Banua Naso-Marpamatang” bersemayam dalam diri “Sumber Daya Manusia” bernama Roha dari bangsa mereka masing-masing, lalu dengan cepat mengembangkan: pendidikan, pelatihan, industri, laboratorium, penelitian, mencari sumber daya alam, dan lain sebagainya dalam sistim ekonomi Laissez-faire (perdagangan bebas). Sehingga dalam rentang waktu kurang dari 150 tahun, berhasil segelintir negara ini lalu mengubah peradaban umat di muka bumi: dari yang serba berjalan kaki dan menunggang ternak (kuda, lembu, dan lainnya) dimana-mana di seluruh dunia, menjadi pera-daban dengan kendaraan bermotor: mobil, kereta api, kapal laut, pesawatterbang, hingga menjelajah antariksa.

Penyampaian berita semula dilakukan orang dengan bertemu fisik: dari mulut ke mulut, beragam tetabuhan, surat, mengutus orang dan burung;  lalu diubah menjadi gelombang elektromagnetik: radio, telepon, televisi, ponsel, internet. Bekerja awalnya dilakukan orang di kantor, pabrik, lapa-ngan terbuka, dan lainnya, dengan: Information and Communication Technology (ICT), atau Tek-nologi Komunikasi dan Informatika (TKI), lalu diubah menjadi bekerja dimana saja orang mau me-lakukannya di muka bumi ini. Masih banyak lagi kemajuan lain yang tidak mungkin dikemukakan kini satu persatu, yang akan segera datang menuju ke yang semakin memudahkan oranng hidup di Banua-Tonga atau muka bumi ini nanti.

Segelintir negara dikemukakan diatas menjadi teladan umat, membuat lainnya: dari Utara ke Sela-tan, dan dari Barat ke Timur, termasuk Timur Tengah, Asia Tenggara, dan belahan bumi lain yang masih tertinggal, bergegas mengembangkan “Roha=Perlunsani” Sumber Daya Manusia masing-masing bangsa menyimak apa yang telah dikatakan oleh Sokrates. Mereka melakukan pemberanta-san buta huruf, mengembangan pendidikan berjenjang beragam ilmu dan keterampilan guna me-ngejar ketertinggalan dari segelintir negara yang telah mengemuka disebutkan diatas.

Kendati Roha telah banyak terungkap oleh para ahli bermacam negara maju lewat ilmu penge-tahuan dan teknologi, laboratoriun, tidak terkecuali industri, tambang, archeologi, penelitian anta-riksa, dan lainnya, serta terekam kedalam tidak terbilang banyak buku, jurnal, dan lainnya; baik media tradisional, elektronik, maupun digital; namun alam bukan-benda kedua terdapat dalam diri manusia bernama “Roha” masih menyimpan banyak rahasia yang belum lagi dapat diketahui orang sampai saat ini.

Pamatang

Pamatang (tubuh, badan, jasmani), adalah bukti keberadaan manusia di Banua-Tonga atau muka bumi atau Alam Fana. Jasmani juga dapat disebut “cap jempol” seseorang di atas lembar kertas ke-hidupan di muka bumi ini. Dengan badan, si A, si B, si C dan seterusnya dapat dikenali dan dibe-dakan satu dari lainnya; mereka pun dapat saling berkenalan, bergaul dan berbincang untuk bertu-kar fikiran. Jasmani bersama gerakannya memungkinkan orang dapat dibaca: isi hati, sikap, budi pekerti, dan perangainya oleh orang berpengetahuan.

Temuan Human Genome Project, atau Proyek Gen Manusia, yang dipimpin Craig Venter dari Amerika Serikat, salah satu segelintir negara terkemuka dunia, pada tanggal 11 Febrruari 2001 ber-hasil mengungkapkan, terdapat 30.000 gen dalam setiap tubuh manusia yang bertanggungjawab ter-hadap kehidupan insan, dan senantiasa membuka dan menutup dalam melakukan tugasnya sepanjang jalannya waktu. Dan hanya gen-gen yang membuka saja bertanggungjawab mengendali-kan semua sel terdapat dalam tubuh manusia bilangannya diperkirakan berjumlah 3.000.000.000. sel.

Tubuh manusia yang terdapat di Banua-Tonga, demikian juga hewan dan tumbuhan, tersusun dari beragam sistim kehidupan rumit (biologi), seperti: peredaran darah, pencernaan, pernafasan, peng-indraan, syaraf, dan banyak lainnya. Selain dari itu, keseluruhan sistim dikendalikan puluhan ribu gen terbuka pada manusia, harus juga bekerjasama dalam orkestra harmonis menjadikan tubuh yang sehat tempat  tondi dan roha berdiam. Kegagalan badan atau jasmani menjadi sehat oleh berbagai alasan, antara lain: penyakit, kecelakaan, hingga dengan uzur, akan menyebabkan tondi dalam per-jalanan waktu meninggalkan badan di Alam Kedua (Alam Benda) dan melanjutkan perjalanan ke Alam Ketiga.

Meski jasmani telah banyak dipelajari para ahli terutama bidang kedoktern di berbagai negara yang telah maju ilmu pengetahuan dan teknologinya, namum bagian TLB yang paling banyak dan  sering dikaji di muka bumi, menjadi bukti keberadaan manusia di Banua-Tonga atau Alam Kedua ini  masih menyimpan rahasia yang belum dapat diungkapkan semuanya, apakah tubuh manusia itu sebenarnya?

Kedatangan Insan

Saat Tondi Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jer-man) tiba di perbatasan Alam Pertama (bukan-benda) dengan Alam Kedua (benda), dalam lang-langbuana Tondi sejalan “pemahaman baru”, tepatnya setelah di turun dari Banua-Ginjang dalam menghampiri Banua-Tonga dalam “pemahaman lama”, ia perlu terlebih dahulu menjemput benda (materi) guna menyatakan keberadaan di Alam Kadua atau Banua-Tonga. Materi adalah sesuatu yang terdapat di Alam Kedua dan tunduk kepada hukum Alam atau fisika, karena memiliki berat (massa) dan menempati ruang.

Segala sesuatu yang ada, tetapi tidak memiliki massa dan tidak pula menempati ruang, pasti bukan-benda (immaterial) dan akan terdapat di Alam Pertama, dan/atau Alam Ketiga. Perpaduan Tondi, Roha, dan Pamatang dalam Adat Batak diperlihatkan dengan pertolongan “pira manuk na ni ho-bolan”. Tondi kuning telur terdapat di tengah, Pamatang putih telur yang mengitari. Sedangkan Ro-ha  selaput yang terselip memisahkan kuning  dari putih telur.

Pertemuan “Tondi” dengan “Pamatang”, setelah yang pertama tiba dari Banua Ginjang berada di-perbatasan Banua-Tonga, atau turun dari “Alam Pertama” dan tiba diperbatasan “Alam Kedua”; pada manusia diawali dari konsepsi (conception) ketika sepasang insan, yakni: seorang laki-laki dengan seorang perempuan berhubungan badan. Konsepsi tidak lain dari Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) yang turun dari Banua Gin-jang, atau Alam Pertama, yang menjemput badan (materi) dari Banua-Tonga, atau Alam Kedua, untuk menciptakan benih manusia yang aktif melakukan pembelahan sel. Pembelahan sel  berlang-sung berkesinambungan menciptakan janian, dan yang akhir dapat berkegiatan terus-menerus ka-rena mendapat pemasukan bahan (materi) dari ibu yang mengandung di Banua-Tonga atau Alam Kedua, hingga pada saatnya lahir ke dunia sebagai bayi.

Setelah lahir, bayi melanjutkan kegiatan menghimpun bahan (materi), kini diluar kandungan de-ngan menyusu kepada ibu, juga makanan dan minuman yang diberikan langsung oleh orang tua, ba-ik untuk menambah berat dan menambah tinggi badan. Dengan memelihara kesehatan selama per-tumbuhan, maka bayi akan  menjadi: anak, akil balig, remaja, dan memasuki usia dewasa.

Memasuki usia dewasa, kegiatan menghimpun bahan (materi) berlanjut terus, tetapi  bukan lagi dari pemberian orang tua, melainkan dari usaha mencari nafkah. Pada usia dewasa materi dihimpun melalui kegiatan: makan, minum, bernafas, dan bergerak kebanyakan digunakan untuk metabolisme (pertukaran zat) tubuh berlangsung cara kimia, seperti: perbaikan jaringan tubuh, menyediakan te-naga (energi), pertukaran zat, dan lainnya, untuk memelihara jasmani agar tetap sehat sampai ke batas usia.

Sementara pada hewan, ada yang mengikuti cara manusia, tetapi tidak sedikit yang menyiapkan pinjaman materi bagi generasi dengan telur, dan kehidupan dipicu panas pengeraman. Pada tana-man telur diganti benih (bibit) dan kehidupan dipicu lembab (air) suhu lingkungan.

Menurut ahli kesehatan, pertukaan zat berlangsung tidak berkeputusan dalam tubuh manusia selama hayat membuat yang disebut terakhir, atau bukti kehadiran manusia di muka bumi, berganti selu-ruhnya, mulai kulit yang terdapat di permukaan hingga bagian tubuh terdalam, sekitar tujuh tahun tahun sekali. Itulah sebabnya mengapa bayi lahir ke dunia menjadi besar dengan kegiatan: makan, minum, bernafas, dan bergerak; bertambah beratnya, berubah wajahnya, berganti bentuknya, ber-tambah pengetahunnya, dan lain sebagainya sampai dewasa. Seorang anak usia diatas 7 tahun de-ngan demikian tidak akan lagi menyimpan benda (materi) yang diperoleh dari kedua orang tua saat konsepsi. Kini seluruh benda (materi) yang ada dalam tubuh si anak semata perolehan kegiatan makan dan minum pemberian orang tua saja. Kedua orang tua anak ini, menurut ahli kesehatan tadi, juga telah beralih dari sepasang manusia yang pernah meminjamkan benda (materi) kepada si anak, menjadi hanya pewaris dari pasangan orang tua yang pernah memin-jamkan benda (materi) kepada anak waktu yang silam. Hubungan pasangan orang tua dengan anak yang kini tersisa hanya penje-lasan sejarah saja.

Metabolisme tubuh yang didukung kegiatan: makan, minum, bernafas, dan bergerak membuat se-tiap manusia menukar tubuh (jasmani) secara berkala, menyebabkan “semua orang sama” dimana-mana di seluruh dunia ini, terkecuali yang diatur gen sebagainana yang diungkapkan Proyek Gen Manusia, seperti: bangun tubuh, warna kulit, bentuk wajah, dan berbagai hal yang bersifat khusus lainnya, meskipun hal-hal yang disebutkan belakanganr tidak banyak pengaruhnya dalam hidup sehari-hari insan, selain untuk pengenal diri atau identitas. Karena itu benarlah apa yang dikatakan orang tua-tua di Bona Bulu silam, agar anak yang sudah dewasa diperlakukan sebagai “dongan” (te-man), bukan lagi “anak” sebagaimana sebelumnya. Ini disebabkan anak yang sudah menjadi de-wasa telah sempurna “metamorphosa badannya” menjadi orang lain lewat pergantian jasmani ber-langsung berkali-kali sebagaimana yang telah dijelaskan ahli kesehatan diatas.

Orang yang telah mencapai umur 63 tahun setidaknya telah berganti tubuhnya 9 kali lewat pertu-karan zat yang berjalan 7 tahun sekali. Pelaku kejahatan menjalani hukuman penjara lebih dari 7 tahun dengan demikian telah digantikan oleh serang pewaris bukan lagi pelaku kejahatan, karena tubuh yang terdapat padanya tidak pernah telibat kedalam kejahatan dituduhkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pelaku kejahatan tercantum dalam BAP sebetulnya telah meninggalkan penja-ra lewat metabolisme tubuh yang tidak diketahui sipir penjara yang mengawasinya.

Tampak disini hukum alam yang bermain di dunia renik (mikro kosmos) yang tidak harus sejalan dengan keputusan hakim (penegak hukum). Sebaliknya hidup insan di Banua-Tonga sangat ter-gantung kepada aturan biologi memanfaatkan beragam molekul yang menjadikan sel-sel tubuh mnusia. Molekul-molekul ini masih lagi tergantung dari bermacam atom yang menyusunnya. Selain dari itu, tidak dapat dipungkiri peran medan gravitasi dunia renik (gaya tarik-mearik antar atom dan gaya antar molekul) yang membentuk benda, termasuk yang menjadikan tubuh mahluk hidup. Tan-pa kepatuhan dan kesetiaan medan gravitasi dunia renik menunaikan tugas yang diemban masing-masing, maka insan bernama manusia terbentuk lebih dari 70% air dan sedikit tanah (Carbon, Kal-sium, dan sedikit lainnya) ini, tidak lebih dari onggokan atom tak-bernyawa berserakan dalam ru-ang yang tidak ada gunanya.

Akhirnya, masih terdapat medan gravitasi bumi yang membuat manusia dapat menjejakkan kaki di muka bumi atau berbagai benda-langit lain. Kegagalan medan gravitasi akhir ini melaksanakan tu-gas, berakibat semua benda yang ada di muka bumi akan melayang berserakan di angkasa, juga ti-dak trekecuali mahluk yang bernama manusia.

Orang-orang yang telah meninggal, sesungguhnya telah mengembalikan tubuh mereka berulang ka-li sedikit demi sedikit kembali ke Banua-Tonga atau Alam Kedua, lewat pertukaran zat atau me-tabolisme tubuh, akan tetapi yang dikembalikan belakangan ialah yang dimilikinya 7 tahun tera-khir. Tubuh manusia kata orang kebanyakan terdiri dari daging dan tulang, akan tetapi ilmu penge-tahuan membuktikan jasmani ini tidak lain dari tempayan atau kendi yang penuhi air. Hal ini dise-babkan lebih dari 70% berat badan manusia hanyalah air, dan kurang dari 30% yang berupa  unsur-unsur kimia, seperti: karbon (C), kalsium (Ca), kalium (K), besi (Fe), fosfor (P) dan lainnya tidak terkecuali unsur langka bumi (rare earth), sebagaimana terlihat dalam tabel unsur-unsur kimia yang pertama kali diungkapkan oleh Dmitri Ivanovich Mendeleev (1834-1907). Kembali tampak disini, dari apa yang membentuk tubuh manusia, ternyata “semua orang sama” dimana-mana di seluruh dunia ini, tidak lain dari benda (materi) pinjaman dari Banua-Tonga. Perbedaan orang gemuk dari yang kurus lebih disebabkan perbedaan banyak air yang ada pada orang gemuk ketimbang beragam unsur kimia lainnya.

Orang meninggal dunia sesungguhnya manusia yang telah berada di perbatasan antara Banua-Tonga dengan Banua-Toru, atau antara Alam Kedua dengan Alam Ketiga, dalam perjalanan hidup-nya. Pada saat itu, Tondi (Batak), Hati-sanubari/Jiwa (Indonesia), Ruh (Arab), Soul (Inggris), Seele (Jerman) mengembalikan pamatang atau jasmani ke asalnya, yakni Banua-Tonga, atau Alam Ke-dua, karena tubuh manusia hanyalah barang pinjaman. Ini berarti segala mahluk hidup: manusia, hewan, dan tanaman, akan mengembalikan badan (jasmani) bersifat kebendaan (materi) melalui dua tahap, yakni: pengembalian sedikit demi sedikit (partial)  dan pengembalian menyeluruh atau pe-ngembalian belakangan. Banua-Tonga atau Alam Kedua telah menetapkan bahwa setiap jasmani (materi) yang dikembalikan perlu di daur ulang untuk menghindarkan “sampah biologi” (biological waste) yang akan mencemari lingkungan. Daur ulang dikerjakan bermilliar bakteri yang berdiam di tubuh masing-masing mahluk, yang sehari-harinya bertugas mengukir tubuh makhluk agar terlihat sekat dan bersih. Bakteri-bakteri lalu melepaskan gas penyengat indra penciuman yang tersebar ke udara. tujuannya untuk mengundang pendaur ulang lain segera datang guna menyelesaikan peker-jaan secepat mungkin.

Tubuh yang dikembalikan belakangan berada di perbatasan antara Banua-Tonga dengan Banua-To-ru, atau Alam Kedua dengan Alam Ketiga. Bermacam adat-istiadat dan agama yang dianut manusia di muka bumi telah mengajarkan, untuk menghindarkan pencemaran sampah biologi me-ngotori lingkungan, daur ulang dapat dilakukan lewat: pemakaman, pembakaran (kremasi), penenggela-man, dan pembiaran. Pada pemakaman, air kembali ke Banua-Tonga diserap akar tanaman, kemudian menguap ke udara, menjadi awan, menjadi hujan, akhirnya dan kembali ke laut. Beragam unsur kimia lain dikembalikan ke tanah lalu diserap tanaman, dimakan hewan, dan dikonsumsi ma-nusia. Pada pembakaran, air akan mennguap, naik ke udara menjadi awan, akhirnya kembali lagi ke laut. Bermacam unsur kimia yang ikut terbakar menjadi asap, ada yang menjadi abu lalu disimpan keluarga di rumah atau tempat perabuan. Pada penenggelaman, air kembali bergabung dengan yang lain. Bermacam unsur kimia mengendap didasar badan air, seperti: kolam, sungai, danau, laut, dan samudra, menjadi makanan tanaman dan binatang laut. Pada pembiaran, pengeringan di udara terbuka membuat air segera meguap menjadi awan, akhirnya kembali lagi ke laut. Pada yang akhir ini terdapat peran burung manakala ditempatkan di suatu ketinggian di udara terbuka; atau binatang buas bilamana diterlantarkan dalam rimba. Ada pulan yang disimpan dalam bangunan, gua, dan  lain sebagainya dalam mendaur ulang jasmani yang dikembalikan belakangan.

Banua-Tonga atau Alam Kedua telah menetapkan sampah biologi dikembalikan partial dan bela-kangan akan menjadi “rantai makanan” (food chain) pertama sangat diperlukan makhluk hidup: manusia, hewan dan tanaman. Rantai makanan pertama membebaskan tenaga diperlukan manusia, beragam hewan dan tanaman menjalani kehidupan di Banua-Tonga atau Alam Fana serentang hayat. Rantai makanan ragam ini bekerja membebaskan tenaga (energy) matahari yang terdapat dalam jasad dikembalikan lewat penguraian (decompose) kedalam beragam unsur kimia yang ter-cantum dalam tabel Mendeleev.

Adapun rantai makanan kedua ialah yang merakit kembali (recompose) bermacam unsur kimia yang telah terurai, kembali menjadi: butiran, bijian, buah, dan lain sebagainya dikerjakan tumbuhan dibantu proses photosynthesis oleh sinar matahari guna menyimpan tenaga (energy); juga oleh bermacami hewan menghasilkan: susu, daging, madu, dan lainnya. Itulah sebabnya mengapa tana-man sangat memerlukan zat makanan yang mengandung unsur-unsur kimia dari daur ulang pe-ngembalian partial dan belakangan untuk kelangsungannya. Melalui daur ulang dan kesegeraannya, pencemaran lingkungan di Banua- Tonga atau Alam Kedua oleh sampah biologi dengan demikian dapat dihindarkan.

Bagi tubuh orang sehat, Tondi dan Roha selalu menyertai Badan berada di Banua Tonga, atau Alam Kedua. Tidak ada orang yang dapat memperkirkan, berapa lama Tondi dan Roha akan menyertai jasmani pada mahluk hidup, hingga tiba batas waktu yang telah ditentukan. Ketika waktu itu tiba, Tondi akan mengembalikan badan di perbatasan Alam Kedua dan Alam Ketiga. Dan setelah berpisah dari badan, tidak ada lagi yang dapat diketahui orang tentang perjalanan Tondi selanjutnya kembali ke asalnya di Alam Pertama atau Banua-Ginjang.

Dinamika Zaman

Pada awalnya kehidupan masyarakat Batak di beragam tempat di Bonabulu silam berjalan perlahan atau alami, yang dikenal berlangsung evolusioner. Gelombang petama kedatangan agama Islam ke Nu-santara pada abad ke-13 silam, belum menyebabkan perubahan berarti dalam kehidupaan ma-syarakat di Tanah Batak. Akan tetapi dengan datangnya gelombang kedua kedatangan agama Islam dari Sumatera Barat terletak di selatan Tanah Batak lewat Perang Padri (1821-1837), benar-benar menimbulkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, atau berlangsung revolusioner.

Pemerintah Hindia Belanda (1833-1942) yang kemudian menggantikan kaum Paderi, melakukan perubahan ce-pat atau revolusioner di Tanah Batak memperkenalkan kerja rodi (kerja paksa) mem-buat jalan dan jembatan. Pemerintah Hindia Belanda yang kolonial, kala itu juga mengharuskan pa-ra Raja dan rakyat membayar belasting (pajak). Dengan sistim pemerintahan terpusat (sentralistis) yang perta-ma kali diperkenalkannya di seluruh Tanah Batak, para Raja dan rakyat lalu dijadikan bagian dari pemerintah Hindia Belanda seberang lautan. Para Raja di Tanah Batak diwajibkan memungut bela-ting bersasaran pendapatan ditetapkan (bertarget). Imbalan yang diberikan kepada masyarakat pada ketika itu: adanya pemerintahan, layanan masyarakat, jalan raya, jembatan, dan pendidikan bagi anak-anak pribumi.

Pemerintah Fascist Jepang (1942-1945) yang menggantikan pemerintah Hindia Belanda di Tanah Batak, juga tidak kalah kolonialnya, memberlakukan perubahan cepat di Tanah Batak, bahkan de-ngan sikap kasar dan kekejaman senjata. Jepang mengharuskan dibentuk barisan-barisan Zikedan dan Bogodan pada setiap kampung di Tanah Batak untuk menghimpun orang muda guna dijadikan “heiho” (pembantu prajurit Jepang) dan “romusha” (pekerja rodi Jepang). Mereka juga memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi, baik yang dibayar dengan uang Jepang maupun yang tidak memperoleh bayaran samasekali. Setelah Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pimpinan Amerika Serikat di penghujung Perang Dunia Ke-II silam, pemimpin pergerakan NRI (Negara Republik Indonesia) di Tanah Batak lalu mengambil alih pemerintahan. Kaum pergerakan anak-negeri juga tidak luput dari melakukan perubahan cepat di Tanah Batak, dengan melakukan revolusi untuk menolak kembali datangnya Belanda menjajah Tanah-air, setelah Jepang bertekuk lutut di negeri-nya kepada Amerika Serikat, lalu menjanjikan kehidupa yang bebas dari kemiskinan dalam alam kemerdekaan.

Memasuki revolusi kemerdekaan, pemerintah NRI keresidenan Tapanuli yang beribukota Tarutung mengeluarkan ketetapan Residen Tapanuli No.: 274 tertanggal 14 Maret 1946, dan No: 1/D.P.T. tertanggal 11 Januari 1947, ditandatangani Dr. F.L. Tobing. Adapun isi ketetapan Residen Tapanuli itu ialah: Para Raja yang masih menjabat pada pemerintahan, maupun mereka yang masih beru-rusan dengan kegiatan lingkungan publik di Tanah Batak, apapun jabatan diemban, diberhentikan dengan hormat. Adapun para pejabat pemerintah pengganti yang akan menyelenggarakan pemerin-tahan selanjutnya di Tanah Batak, akan dipilih secara demokratis oleh Pemerintah Republik Indo-nesia. Dengan demikian seluruh pemerintahan yang awalnya masih berlangsung menurut adat Ba-tak setempat, masih diperkenankan oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk tingkat Bonabu-lu/Huta silam, sejak saat bersejarah itu terpaksa harus tersingkir dari wilayah publik di Tanah Ba-tak, lalu berhijrah ke ranah seremonial perhelatan Adat Batak semata.

Gelombang perubahan cepat yang melanda Tanah Batak, dimulai: Perang Paderi, penjajahan Hin-dia Belanda, penjajahan Facist Jepang, revolusi dan perang kemerdekaan, hingga memasuki zaman kemerdekaan; telah menyebabkan masyarakat Batak mulai dari Bonabulu hingga perantauan (orang Batak diaspora) menjadi terbuka dan menerima kenyataan. Kini memasuki abad ke-21, suku-bangsa Batak harus pula menerima bermacam pengaruh lain, termasuk dampak globalisasi dunia (Interna-sionalisasi) dengan masuknya: pandangan hidup kemasyaakatan dengan aneka ragam agama, ser-buan budaya dari beragam bangsa, aneka musik populer, ilmu pengetahuan aneka ragam disiplin dan teknologi, yang mengantarkan insan sedunia memasuki peradaban millenium ketiga.

Apapun berbagai pengaruh yang telah mendera masyarakat di Tanah Batak, apapun ragam maupun bentuknya, mulai dari waktu silam hingga dengan sekarang, baik kepada masyarakat yang masih berdiam di Bona Bulu maupun yang telah berada di perantauan, kenyataan masih tetap memper-lihatkan TBS sebagaimana pandangan Ompu Simulajadi tentang segala yang ada, dan tetap saja serba-tiga kenyataannya, yakni:

Pertama. Dengan munculnya keragaman agama dianut berbagai bangsa di dunia, masyarakat Batak di Bonabulu demikian juga mereka yang telah berada di perantauan lalu menganut ajaran mono-theisme, yakni ajaran beriman kepada Tuhan Yang Esa yang tunggal, karena  banyak persamaannya dengan pandangan Ompu Simulajadi silam. Kepada mereka yang beragama Islam, ini berarti mengakui hadirnya Tuhan Yang Maha Esa, maknanya tidak ada Tuhan selain Allah. Dan ini memperlihatkan Semangat Ketuhanan; yang dalam bahasa Arab diungkapkan oleh rangkaian kata: Hablumminallah.

Kedua. Dengan timbulnya bermacam pengaruh budaya dan ilmu pengeauan dari segala penjuru dunia mempengaruhi kehidupan masyarakat Batak dari Bonabulu sampai perantauan, menyebabkan adat-istiadat warisan leluhur diperkaya, dan pengayaan datang dari lingkungan Nasional dan lingkungan Inter-nasional. Bermacam pengaruh tadi membuat suku-bangsa Batak melebarkan pan-dangan hidup: diawali dari kesukuan yang sempit di Bonabulu silam, menjadi Nasional yang lebih luas, kemudian Internasional bersifat gelobal; sekaligus menjadikan suku-bangsa Batak bagian dari masyarakat dunia. Kepada mereka yang beragama Islam ini menunjukkan Semangat Kemanusiaan; yang dalam bahasa Arab diungkapkan dengan rangkaian kata: Hablumminannas.

Ketiga. Perkebangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menciptakan kemajuan: sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat suku-bangsa Batak mulai dari Bonabulu, lalu Nasional, dan Internasional, membuat suku-bangsa Batak dari Bona Bulu hingga tanah perantauan turut me-nikmatinya. Karena itu harus ikut pula bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup, tidak semata tingkat Bonabulu, tetapi pula Nasional dan Internasional hingga ke tepian Alam Semesta. Bukankah dalam Al-Quran ‘ul Karim tercantum surat 2:11, yang menyerukan agar: “….jangan kamu membuat kerusakan di muka bumi….”, dan diulang kembali dalam bermacam surat-surat yang kemudian me-nyusul. Kepada mereka yang beragama Islam ini memperlihatkan Semangat Memelihara Lingku-ngan Alam Semesta; yang manakala diutarakan dalam bahasa Arab akan melahirkan untaian kata: Hablumminalkaun.

Dengan demikian Trilogi: Hablumminallah, Hablumminannas, dan Hablumminalkaun, menjadi Sekawan Kesepakatan Manusia (SKM), tidak asing lagi di telinga suku-bangsa Batak beragama Islam, karena memang sejalan dengan pandangan Ompu Simulajadi silam tentang Alam Semesta, tentang adanya: Banua-Ginjang, Banua-Tonga, dan Banua-Toru mengitari kehidupan mahluk di bumi ini. Hablumminallah menjadi pertanda penyerahan diri manusia kepada Al-Khalik Sang Pencipta dalam arah vertical; lalu Hablumminannas ialah persaudaraan sesama manusia bercorak horzontal di permukaan bumi, sedangkan Hablumminalkaun menjadi tanggungjawab manusia kepada lingkungan hidup tempat keberadaan yang menampung semuanya, mulai dari dimana kaki manusia berpijak hingga ke tepian Alam Semesta.

Apapun agama dianut suku-bangsa Batak yang mengatur hubungan manusia dengan Al-Khalik yang vertikal, tidak diragukan lagi berawal dari pandangan Ompu Simulajai silam. Sedangkan hubungan antara sesama manusia yang horizontal berangkat dari adat Batak Dalihan Na Tolu di Bonabulu bersifat lokal, lalu meningkat menjadi budaya bangsa Indonesia bersifat nasional, akhir-nya meluas menjadi budaya antarbangsa atau dunia bersifat Internasional. Adapun kepedulian suku-bangsa Batak terhadap lingkungan tempat berdiam di muka bumi dimulai peradaban zaman batu corak lokal, berkembang menjadi peradaban zaman logam yang global, lalu berkembang menjadi peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi, disingkat Iptek, meliputi Alam Semesta.

Dengan demikian Agama, Adat-istiadat, dan Iptek telah merupakan Sekawan Kebutuhan Manusia  (SKM) untuk mencapai: perdamaian, kemajuan, dan kesejahteraan umat hidup di muka bumi ke-depan menelusuri abad ke-21 atau Millenia ke-III yang sedang berjalan. Khusus untuk suku-bangsa Batak SKM menjadi kelanjutan dari pandangan Ompu Simulajadi di Bonabulu silam.

Revolusi Industri

Meski peradaban di Timur Tengah telah sangat maju memasuki tarikh Masehi silam, akan tetapi “revolusi industri” bermula dari daratan Eropa jauh di bagian Utara, ketika itu masih tergolong  kampung dibandingkan dengan yang disebut terdahulu. Gelombang pertama “revolusi industri” muncul tahun 1760 hingga 1820 dan 1840 (penghujung abad ke-18 dan awal abad ke-19), pada saat itu di Inggris James Watt memperkenalkan mesin-uap (steam engine) pertama temuannya kepada  dunia; dilanjutkan gelombang kedua dari tahun 1840 hingga tahun 1870, yang mengawali peru-bahan besar kehidupan manusia pada bermacam bidang, antara lain: ekonomi, budaya, pendidikan, kemasyarakatan, dan lainnya di daratan Eropa Barat. Revolusi industri menemukan momentum de-ngan tersebarnya jaringan jalan kereta-api dihela lokomotiv-uap yang membakar batubara di Ero-pa, dan meluas hingga ke Wladiwostok, di ujung Timur kekaisaran Rusia silam. Jaringan jalan-raya juga menyusul di Eropa dengan diperkenalkannya mesin bensin diperkenalkan Nikolaus Otto dan mesin diesel oleh Rudolph Diesel, dari Jerman. Hingga dengan timbulnya revolusi industri di Eropa, umat dimana-mana deseluruh penjuru dunia bepergian kemana-mana hanya dengan ber-jalan-kaki saja, paling banyak mengendarai ternak peliharaan yang telah jinak, atau kereta dihela hewan peliharaan yang telah dijinak-kan. Adapun ternak yang banyak digunakan untuk angkutan penumpang dan barang dimana-mana di dunia ketika itu, ialah: kuda, lembu, sapi, unta, dan lain se-taranya.

Revolusi industri yang tampil abad ke-18, lalu mengantarkan manusia menguasai “teknologi angku-tan” memudahkan orang untuk bepergian di muka bumi menggunakan bermacam moda transpor-tasi, seperti: jalan-baja, jalan-raya, jalan-air, dan jalan-udara. Layanan angkutan kemudian berkem-bang pesat, dimulai angkutan kota besar bersifat lokal atau setempat, lalu angkutan antar kota dan propinsi yang bersifat kawasan atau regional, dan angkutan antar negara yang bersifat antarbangsa atau internasional. Dengan demikian siapapun yang kini berdiam di muka bumi, mulai: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, walau tinggal berjauhan satu sama lain, dipagari lagi jarak berjalan-kaki yang lama dan melelahkan, kini dapat dengan mudah saling berkunjung untuk bersilaturrahmi, kapan pun, dengan siapa pun, dan dimanapun di muka bumi, dengan hanya membeli tiket, berkat adanya beragam moda  angkutan yang dibidani revolusi industri silam.

Revolusi Digital

Menghampiri penghujung abad ke-20 silam, dua abad pasca revolusi industri, muncul pula “re-volusi elektronik”, dibidani: “ICT” (Information and Communication Technologi) atau “TIK” (Teknologi Informasi dan Komunikasi), memungkinkan orang dapat bercakap-cakap sekaligus  ber-tatap muka langsung (in real time) memanfaatkan “Perangkat Elek-tronik Bergerak”, disingkat PEB (Electronic Mobile Device, disingkat EMD) dapat dikantongi dan dibawa kemana saja pergi, dina-makan: gadget (gawai). Dengan demikian siapapun yang berdiam di muka bumi, mulai: pero-rangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, meski berada saling berjauhan, dipagari la-gi jarak berjalan-kaki yang lama dan melelahkan, kini dengan mudah dapat bercakap-cakap untuk bersilaturrahmi, kapan pun, dengan siapa pun, dan dimanapun di muka bumi ini, dengan hanya membeli pulsa lewat gawai, dengan diperdagangkannya PEB bermacam merek di pasar perangkat elektronik, dilahirkan “revolusi elektronik”.

Informasi Yang Terbuka

Kedua revolusi masing-masing: “transportasi” dan “telekomunikasi”, membuat mitologi bermacam komunitas, mulai: keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa berbagai kawasan di muka bumi sejak ratusan ribu tahun yang silam, berisi antara lain: sejarah, ceritra, hikayat dari luhur, dan lain sebagainya yang telah menjadi budaya, demikian pula berbagai hal sakral; aneka ragam keperca-yaan sampai keimanan beragama, dari: perorangan, keluarga, masyarakat, suku-bangsa, dan bangsa, lalu menjadi terbuka pada dunia oleh teknologi transportasi dan komunikasi. Mitologi yang menjadi “harta hati-sanubari” insani bermacam komunitas beragam bangsa, dari: perorangan, keluarga, ma-syarakat, suku-bangsa, dan bangsa yang terdapat di muka bumi, lalu menjadi bahan atau materi kajian perbandingan kalangan cerdik-pandai yang gemar bekerja menemukan kebenaran yang ber-sifat hakiki.

Harta insani bersemayam dalam hati-sanubari kini lebih dari 7 Milliad manusia di dunia dari ber-bagai bangsa tampil tidak bersamaan ke muka bumi nenempuh perjalanan waktu panjang silam, lalu dalam waktu singkat dipertukarkan diantara sesama orang dalam kegiatan silaturrahmi, baik yang didekatkan oleh “sarana transportasi” oleh kemudahan bepergian dengan bermacam kendaraan, maupun didekatkan oleh “sarana komunikasi” PEB atau “gadget (gawai)” beragam merek  tersebar luas yang diperdagangkan di pasar. Bermacam kelompok berkepentingan lalu memanfaatkan harta insani bersemayam dalam hati-nurani insani ini menjadi bahan atau materi diskusi, kajian ilmu pe-ngetahuan beragam disiplin dikuasai untuk menemukan kebenaran mutlak atau absolut. Analisa perbandingan, dari: budaya, nilai sakral, kepercayaan, sampai keimanan, dan lainnya berkembang, mulai dari negara maju hingga yang masih berkembang. Publikasi hasil kajian, mulai yang dilakukan orang awam hingga para ahli berbagai disiplin menarik perhatian media hingga penerbit untuk disebarkan ke masyarakat, mulai dari talkshow hingga penjualan buku. Publikasi jelas rawan menimbulkan sengketa pendapat diantara mereka yang pro dengan yang kontra dan menimbulkan pertikaian tidak diinginkan antara kaum pewaris harta insani yang tersebar dalam masyarakat, mu-lai dari: lokal, regional, hingga internasional.

Untuk menjaga Ketenteraman Masyarakat Dunia, disingkat KMD, (The Wellbeing of World Socie-ty, disingkat W2S) terusik oleh “Teknologi Transportasi dan Komunikasi”, disingkat T2K (Trans-portation and Communication Technology, disingkat TCT) dibidani “revolusi industri” dan “revo-lusi digital” yang melahirkan bermacam sarana transportasi dan komunikasi, maka untuk menghin-darkan keresahan para pewaris harta karun insani dari leluhur, kepercayaan, agama dan beragam nilai sakral yang ada, sudah tiba saatnya membentuk: Majelis Mitologi Dunia, disingkat MMD (World Mithology Council, disingkat WMC. Adapun tugas MMD ialah menyediakan “tempat” mengatasi persoalan sekaligus “tenaga ahli” dibidangnya”, mulai persoalan yang telah timbul hing-ga dengan yang berpotensi menimbulkan masalah. Dengan demikian berbagai macam harta karusn insani bersemayam dalam hati-nurani umat bermukim di muka bumi ini, terutama berkaitan dengan kepercayaan, keimanan agama, bernilai sakral, dan lainnya dapat diantisipasi lalu dijembatani, se-hingga kebersamaan hidup umat di planit biru ini selalu dapat berjalan harmonis, dan dinaungi ke-rukunan.

——————–selesai——————–

Catatan Penulis:

Paukpauk Hudali, Pagopago Tarugi; Na Tading Taulahi, Na Sego Tapauli.

(Dikutip dari tarombo Marga Siregar Bunga Bondar yang dikerjakan Tulang: Sutan Habiaran).

Penulis:

H.M.Rusli Harahap

Pamulang Residence, G1

Jalan Pamulang 2, Pondok Benda. Kode Pos: 1541

Tangerang Selatan, Banten. Indonesia.

11 Mei 2016

Tel. 021-74631125.

Bottom of Form

 


Leave a comment

Categories